Assalamu'alaikum :)

Kamis, 10 April 2014

Surat untuk Mantan



Dear mantan,
Ah ya, itu kamu. Aku panggil kamu mantan tak masalah, kan? Baiklah, yang pertama kali akan aku tanyakan adalah: bagaimanakah kabarmu? Kau baik saja, kan? Sehat selalu, kan? Ah ya, kurasa itu.
Mantan, kau tahu kan? Kau adalah mantan pertamaku. Tentunya kau tahu bagaimana perasaan seorang perempuan ketika kehilangan pacar pertamanya dan bagaimana perempuan ini akan berusaha sekuat tenaga melupakan pacar pertamanya yang kini ia sebut sebagai, Mantan Pertama.
Mantan, bertahun sudah kita tak pernah bertemu. Bahkan menjalin komunikasi pun tak pernah. Kau tahu, bagaimana perasaan perempuan yang pernah menjadikanmu pacar pertama dan mantan pertamanya ini? Ah, kurasa kau memahaminya. Perempuan ini  hampir saja melupakanmu. Aku hampir saja lupa. Tentu.
Mantan, beberapa waktu yang lalu aku sempat bertemu denganmu. Kita bertemu di persimpangan jalan. Ah, apa kau melihatku? Kita saling berpapasan, kan? Yah, aku teringat ketika aku pada masa lampau terpaksa memutuskan hubungan denganmu. Ah, ya. Kita terlalu banyak perbedaan. Tak pernah sejalan dan tentunya, persimpangan-persimpangan itu telah memisahkan kita. Kita berjalan berlainan arah. Ah, ya. Kita terpisah. Ahaha. Aku tertawa. Itu hal terkonyol, tersendu, terpahit. Uh! Haruskah aku mengingat kenangan itu setiap kali aku tanpa sengaja bertemu denganmu di persimpangan itu? Uhmm.. entahlah. Ini menyiksa.
Mantan, kau tahu apa yang aku harapkan? Apa yang aku nantikan ketika suatu saat pertemuan kita terulang lagi di persimpangan jalan itu? Yah, tegur sapa dan senyum santun yang dahulu selalu kau lukiskan untukku. Mungkinkah kau akan memberikannya? Untukku? Sekali lagi? Oh tidak. Lagi-lagi aku merindukan kebersamaan denganmu. Uh! Ini kacau.
Mantan, tak kusangka hari ini kita di pertemukan tanpa sengaja. Ahaha. Aku tertawa. Kali ini aku tak menyangka kita bertemu di tempat ini. Tempat dimana kita saling berguru pada guru yang sama. Aku senang bisa bertemu denganmu. Tapi sebaliknya. Air mukamu sama sekali tak menandakan bahwa kau berada pada kenyamanan tertinggi. Dingin sekali. Ah, mengapa kau berbeda? Kau lupa padaku? Pada kisah kita dulu? Atau? Kau malu menemuiku? Ah, jangan-jangan kau sudah tak sudi lagi melihatku, bahkan menatap mataku pun enggan. Yah, mungkin saja.
Mantan Pertama, apa kau membenciku? Kurasa, itu yang kau rasakan. Baiklah. Aku tetap tak mengerti. Dimana letak kesalahanku?
Pasuruan, 11 Februari 2014

KARAM



KARAM
Bila bahteramu karam, segeralah meminta kepadaNya untuk menepikanmu, mengembalikanmu ke dermaga itu. Bukan menyumpahi atau mendo’ai. Tapi, aku tengah berada disana. Kapanpun itu. Masih sedang menunggumu. Apapun yang terjadi.  Di dermaga itu. Ya, dermaga yang sederhana dan terlihat reyot namun masih tetap bisa berguna saat kau datang. Dermaga yang telah kau tinggalkan saat pelayaran perdanamu denganya. Ya, dia. Wanita pilihanmu yang kau rasa pantas menemanimu dalam suka maupun duka. Sama halnya denganku yang selalu mencoba memantaskan diri agar terlihat pantas ketika bersanding denganmu. Waktu itu. Waktu suka maupun duka. Waktu kau butuhkan maupun kau buang. Ya, waktu itu.
Kau tau, saat kau memutuskan berlayar dengannya dan sedang meninggalkan dermaga bersamanya, di dermaga itu, aku mengharapkan kau akan berbalik arah. Kembali. Sengaja. Aku yang tengah mengibaskan sapu tangan pemberianmu itu, melambai, berdiri tegak. Namun segala harapan hidupku hilang. Kosong. Kau tak kembali. Hanya sapu tangan. Sapu tangan yang kau gunakan untuk menyeka air mataku ketika kau dengan lantang bersua bahwa kau lebih memilih wanita baru itu. Wanita yang baru saja kau ajak berkenalan. Wanita yang dengan penuh yakin kau katakan bahwa dialah Cinderella yang meninggalkan sepatu kacanya di istanamu. Dan sekarang kau telah menemukannya. Sungguh dan amat gembira. Kau mengajaknya berlayar. Ah!
Hancur! Seperti kau lihat. Seakan aku terkucil di hadapan dunia yang melahirkanku. Terlihat semua sangat gelap di mataku. Baiklah. Pelitaku hilang. Dan aku hanya mampu menunggumu di dermaga itu tanpa sanggup mengejarmu. Aku yakin. Kau akan kembali. Bila bahteramu karam. (Ze*)
Pasuruan, 19 Maret 2014

Bukan Dengannya



apa yang sedang kau rasakan?
entahlah. Tiada yang mengerti. Pun juga aku.
oh baiklah, ada baiknya bila ku tinggalkan kau disini sendiri.
tidak. Tunggu. Jangan.
lantas?
aku mencemburuimu dengan wanita itu. Ya, tepat saat kau dan dia bergandengan dengan cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan kalian.
bodoh. Kau cemburu pada tunanganku. Berhentilah melakukannya.
kau kenapa? Bukankah kau bilang kau menyayangiku, mecintaiku dan menjanjikan akan hidup selamanya denganku? Kenapa sekarang kau meninggalkanku? Ini perih. Kau!
cukup. Aku tak memilihmu.
teganya kau.
ini yang terbaik untuk kedua orang tuaku.
penipu
aku melakukannya demi mereka
penghianat
aku mencintai kedua orang tuaku
bajingan
ini juga demi dirimu
persetan
hey. Hentikan semua ini
kau yang harus menghentikannya. Menikahlah denganku. Aku wanitamu. Bukan dia. Aku yang mencitaimu
sudahlah. Aku tak memilihmu meskipun kau adalah wanitaku.
baiklah. Tutup matamu dan kita akan ke surga bersama. Kita akan menikah disana
kau gila
kau yang gila
kau ini
ayo?
kemana?
ke surga. Kita menikah disana
gila
aku akan menikahimu sayang. Denganku.
kau gila
kau yang gila. Kau akan menikahi kakakku. Kenapa bukan aku? Aku wanitamu, bukan? Kenapa kau memilihnya. Aku lebih cantik dan lebih menarik daripada dia. Aku lebih sempurna. Hanya aku yang pantas bersanding denganmu. Bukan dia. Tapi aku. Aku sayang. Aku.
aku...... memilihnya. Ini demi orangtuaku. Demi dirimu. Aku mencintaimu sayang. Mengertilah. Kumohon. (Ze*)

Pasuruan, 09 Desember 2013