....
“Elang, ada
yang ingin kutanyakan padamu. Bolehkah aku bertanya?”
“Boleh.
Bertanyalah.”
“Aku....”
belum sempat Senja melanjutkan, tiba-tiba ia memutuskan perbincangan. Mematikan
telepon genggamnya dan meletakkannya di meja di beranda rumahnya. Batal
bertanya. Ia kembali duduk malas dan mendekap bingkai foto 25X26 cm di dadanya
sembari meperhatikan air hujan yang kini telah menggenangi taman di halaman
depan rumahnya.Sama seperti air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Entahlah. Bahkan ia tak tahu apa yang ia rasakan sekarang.
***
“Huwei!” Jingga menepuk punggung Senja.
“Au.” Seketika
itu lamunannya buyar. “Jinggaaa!” Setengah berteriak sembari memasang muka
sebal pada sahabatnya yang kini menemaninya duduk di tepi lapangan basket
kampusnya.
“Elang
mana?”
“Apa? Elang?
Kenapa bertanya? Sudah jelas tak disini.”
“Ih
sinisnya.” Goda Jingga dan mencubit gemas pipi Senja. Senja meronta.
“Jinggaaa..
Sakit!” mengelus pipinya yang memerah. Kesakitan. “Entahlah. Sudah seharian ini
aku tak melihatnya. Di lapangan basket ini pula aku tak menjumpainya. Kukira
kau sedang dengannya.” Lanjutnya.
“Tidak. Malah
aku mengira kau sedang dengannya. Bukankah seperti biasanya ia disini? Baiklah.
Aku akan mencoba menelponnya. Kau belum melakukannya, kan?”
“Belum. Tak
terfikirkan.”
“Eh?”
menatap Senja heran. Namun, Jingga memaksa diri untuk tak bertanya lebih jauh.
Ia tahu, Senja pasti tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tak biasa. “Elang.
Kau dimana?”
“Aku? Di
kantin. Ada apa?” Suara dari seberang telepon menjawab.
“Ada apa
tanyamu? Kami mencarimu! Jangan kemana-mana kami akan kesana.” Jingga menutup
telponnya. “Elang di kantin. Ayo kesana.” Menarik tangan Senja yang terlihat
enggan.
Di seberang
lapangan, seorang lelaki tengah memperhatikan mereka.
Sesampainya di
kantin, Senja dan Jingga langsung duduk di dekat Elang. Kedatangan dua dara
cantik ini seketika menyita perhatian para penghuni kantin, terutama mereka
yang berjenis kelamin laki-laki. Maklum saja. Senja Prameswariadalah gadis berparas
cantik, berambut lurus panjang, berkulit putih bersih dan tergolong mahasiswi
yang pandai. Gadis ini terkenal baik dan ramah pada semua orang. Sudah cantik,
pintar, baik pula. Begitulah kebanyakan orang menyebutnya. Asmaradhana Jingga
Putri adalah seorang mahasiswi yang merangkap sebagai model majalah remaja. Tak
usah di ragukan, kecantikannya pasti meluluhkan hati para lelaki. Banyak sekali
lelaki yang mencoba mendekatinya dan memintanya menjadi kekasih, namun Jingga
selalu menolaknya. Jingga berasal dari keluarga terpandang. Meski begitu, ia
tak pernah sombong dan tak pernah memamerkan kekayaan keluarganya. Senja dan
Jingga. Jika mereka berdua di sandingkan, pastilah banyak orang mengira bahwa
mereka berdua kembar.Sejatinya mereka tak sama. Mereka adalah dua gadis yang
berbeda.
“Tak seperti
biasanya.” Jingga protes.
“Aku sehat
dan baik-baik saja.” Seperti tahu yang dimaksudkan Jingga, secepat mungkin ia berkilah.
Hari ini ia enggan main basket dan sepertinya memang ada yang disembunyikan
Elang. Sedangkan Senja, hanya tersenyum sambil memperhatikan air muka Jingga
yang mulai sebal. Sama seperti yang ia lakukan saat Jingga mengejutkannya tadi.
Mereka
bertiga adalah trio populer di kampus. Dua gadis cantik dan seorang lelaki
tampan. Persahabatan manis mereka dimulai sejak mereka bertemu di MOS semasa
SMA. Kini, persahabatan mereka telah memasuki tahun ke-7. Meski terlihat sangat
harmonis, tetap saja mereka manusia biasa. Konflik-konflik kecil juga tak
jarang menerjang mereka. Menguji persahabatan mereka.
Elang Putra
Widjajanto adalah putra tunggal pengusaha kaya yang sangat begelimang harta.
Meski begitu, ia sangat sederhana. Tampan dan jago basket. Banyak gadis
berusaha mendekatinya. Elang lebih suka bersikap dingin jika di depan gadis
lain, namun tidak jika sedang bersama kedua sahabatnya. Itulah Elang.
“Baiklah. Hari
ini tanggal 14. Seperti biasa. Nanti sore jam 4 kita berkumpul disana. Aku
sudah rindu tempat itu.” Ujar Senja antusias dan sepertinya itu mulai
mencairkan suasana yang membeku selama 15 menit. Mereka bertiga mulai
berbincang seru. Membicarakan hal-hal lucu yang seharian ini mereka alami di
kampus. Senja dan Elang tak lagi menampakkan wajah enggan. Mereka larut dalam
perbincangan-perbincangan seru.Jingga bersyukur dalam hati.
“By the way, Senja, Elang. Maaf ya,
sepertinya hari ini aku tak ikut ke danau itu. Aku harus ke studio. Ada kontrak
pemotretan yang harus aku kerjakan untuk sampul majalah. Tak masalah, kan?”
“Umm, sang
model lagi sibuk, ya? Yah, sayang sekali, padahal hanya sebulan sekali kita
kesana.”
“janji deh,
bulan depan aku tak akan absen.” Sembari tertawa kecil.
“Jingga tak
datang. Jadi, bagaimana denganmu, Lang? Apa kau juga berhalangan?”
“Tidak, aku
akan datang, Senja. Kau tenang saja. Oke. Sudah saatnya pulang. Ayo!”
Mereka
bertiga bangkit dan pergi meninggalkan kantin. Canda tawa masih menghiasi
mereka. Terlihat sangat bahagia.
Disudut
kantin,seorang lelaki tengah memperhatikan mereka.
***
14 Februari
2012, 16:00 WIB, Danau Ilalang.
Danau
Ilalang. Nama yang cukup “aneh” untuk sebuah tempat. Sama seperti namanya, keberadaan
danau inidulunya memang dikelilingi oleh ilalang. Namun, sekarang ilalang itu
sudah tak nampak lagi. Hanya sebuah danau tanpa ilalang di sekelilingnya. Meski
keadaannya berubah, panorama disekitar danau yang masih indah tetap menjadikannya
destinasi bagi beberapa orang yang ingin sejenak melepas penat. Entah untuk
sekedar duduk-duduk di bangku dekat danau atau memancing ikan-ikan yang
menghuni danau tersebut.
Setiap sore
di tanggal 14, mereka bertiga selalu mengunjungi tempat ini. Mengapa memilih
tempat ini? Karena tempat ini mampu membuat penat mereka terlepaskan. Dan
mengapa memilih tanggal 14? Karena tanggai 14 adalah tanggal dimana mereka
pertama kali dipertemukan. Mereka bertiga sepaham mengenai itu semua. Sore itu
danau sangat sepi. Biasanya ada saja orang yang berkunjung ke danau tersebut,
entah 1 atau 2 orang. Namun kali ini tidak. Kebetulan atau tidak, di tepian
danau ini hanya ada Senja seorang. Senja yang menunggu Elang. Elang yang sore
itu ingin mengungkapkan perasaan istimewanya kepada Senja. Perasaan yang selama
7 tahun terpendam.
“Kau sudah
sampai?”tanya Elang dalam pesan singkat.
“Sudah. Aku
menunggumu di tempat biasa.”
“Baiklah.”
“Ah Elang,
kau selalu saja begini. Membiarkan wanita cantik ini menunggumu.” Gumam Senja
dalam hati. Tak selang beberapa lama Elang pun datang. Dengan sedikit berlari
kecil ia menghampiri Senja yang tengah duduk manis di sebuah bangku kayu dekat
dengan tepian danau.
“Sudah lama?”
“Belum, hampir
60 menit.”
“Jalanan
macet. Jadi harap maklum.” Cuek. Bukan malah meminta maaf tetapi ia malah mengacak-acak
poni Senja dengan liarnya. Mungkin dia gemas dengan ekspresi Senja yang sedikit
sebal karena telah menunggu lama. Meski begitu, ia tetap terlihat cantik.
“Hentikan
Elang.” Sembari memukul mundur tangan Elang dan menyisir poni miliknya dengan jemari
tangan kanannya hingga rapi.
“Jadi, apa
yang ingin kau tanyakan padaku kemarin?”
“Apa? Sudah
lupakan saja.”
“Tanyakan
saja.”
“Baiklah.
Apa kau ingat hari kematian orang tuaku? Itu saja yang ingin aku tanyakan.”
Satu menit
berlalu, Elang pun menjawab. “Iya, aku mengingatnya. Dua hari lagi, kan?Lantas,
apa rencanamu?”
“Entahlah.
Mungkin ini sedikit gila.”
“Ceritakan
apa yang ingin kau lakukan.”
“Tidak, aku
juga akan memikirkannya lagi. Sendiri. Setelahnya, akan aku ceritakan padamu
dan Jingga.” Diam sejenak. “Tak terasa sudah 16 tahun berlalu. Selama itu pun
aku hidup dengan Bi Inah dan Mang Ujang. Biaya hidup kami dan gaji mereka
bergantung pada transferan dari Pamanku. Sudah saatnya mereka kembali
kekeluarganya di kampung.” Senja bercerita. Elang masih memperhatikannya dalam
diam sembari memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanggapi cerita Senja.
“Jadi, apa
itu bagian dari rencana gilamu? Mengembalikan mereka kekeluarganya? Tunggu, kau
masih punya paman, kan? Mengapa kau tak tinggal dengannya saja?”
“Bukan
bukan. Itu hanya rencana jangka pendek saja. Dan itu bukan rencana gila.”
Berhenti sejenak untuk menarik napas panjang. Kemudian melanjutkan. “Pamanku
tinggal di Jepang. Tak mungkin aku tinggal bersamanya. Lagi pula, setelah
kematian tragis orang tuaku karena kecelakaan mobil, yang bertanggung jawab
membesarkanku adalah Bi Inah dan Mang Ujang. Bukan Pamanku.” Matanya
mengahangat. Ia ingin menangis saat mengingat orang tuanya. Namun urung
dilakukan. Takut kalau Elang akan ikut sedih juga.
Melihat
Senja yang kalut perasaannya, perasaan Elang pun juga makin tak karuan. Ia
sangat ingin menjaga Senja sampai akhir hayatnya. Meski ia tak pernah berani
mengatakannya dan sore ini ia baru akan mengatakannya, tetapi sepertinya batal.
Tak mungkin ia mengatakan niatnya itu di saat Senja sedang berduka. Tanpa
berkata-kata, Elang langsung merangkul bahu Senja yang duduk di sebelahnya. Mencoba
menenangkannya.
Cahaya keoranyean
menyapu wajah mereka berdua. Mentari sebentar lagi tak nampak. Senja dan Elang
memutuskan untuk pulang. Mereka bangkit. Elang menggenggam kedua tangan Senja.
Erat sekali. Senja terkaget. Sorot mata Elang yang tulus menatapnya tajam.
Seketika itu pula desiran rasa aneh menyelimuti diri Senja. Elang merasakan hal
yang sama. Meski hanya mampu memendam, sepertinya mereka tahu perasaan
masing-masing. Bahwa mereka berdua sejak lama telah saling menyukai. Sejak
pertama kali bertemu, lebih tepatnya. Setelah lama berpandangan, Elang
mengatakan sesuatu.
“Kapan kau
membutuhkanku, aku akan selalu ada untukmu. Jadi, terbukalah.”
“Aku tahu.”
Setelah puas
memandangi Danau Ilalang, mereka segera kembali menuju mobil. Elang akan
mengantarkan Senja pulang. Sesampainya di parkiran mobil, Elang melihat Dave,
kapten tim basketnya sedang duduk di trotoar dekat mobil yang di parkirnya.
“Sedang
menunggu seseorang, Dave?”
“Ah kau?
Tidak.” Dave sadar dari lamunannya. Menatap Elang yang menyapanya. Kemudian
beralih menatap seseorang yang digandeng Elang. “Senja?” menyebut nama Senja
dalam bisikan.
“Baiklah.
Kami akan pulang. Apa kau butuh tumpangan? Sepertinya kau tak membawa mobil?”
“Wah, terima
kasih sekali. Tidak. Aku sudah memesan taksi untuk menjemputku. Kau pulanglah
dulu.”
“Ya sudah,
kami pulang dulu.”
Lambaian
tangan Senja dari dalam mobil dan klakson yang dibunyikan Elang mengakhiri
perjumpaan mereka kala itu.
Dan sepasang
mata masih mengamati mobil yang membawa Elang dan Senja pulang hingga mobil itu
lenyap dari pandangan.
***
“Guys, tebak apa ini?” Sembari
menunjukkan selembar kertas A4. Tiket pesawat yang di beli secara online dan belum di tukarkan.
“Tiket
pesawat?” Jingga menebak.
“Betul
sekali.”
“Apa? Kau
mau kemana? Kenapa mendadak?”
“Ah Elang,
sudahlah. Ini rencana gilaku. Aku akan menghabiskan 1 minggu di Jogja. Tempat
dimana orang tuaku meninggal dan di makamkan, 16 tahun yang lalu. Aku ingin
menengok mereka dan menunggui mereka di hari kematiannya. Besok aku akan
berangkat.”
“Apa?” Elang
dan Jingga bersamaan. Senja hanya tersenyum. Ini gila.
***
....
“Apa? Mama
keterlaluan. Mengapa Mama melakukannya?”
“Ini wasiat,Elang!
Wasiat dari almarhum kakek kalian. Kami sudah melamarkan Jingga untukmu 2 hari
yang lalu. Dia menerimanya. Tinggal pernikahan saja. Pernikahan!”
“Tanggal 14?
Tapi Mama tahu, kan? Aku cinta Senja! Bukan Jingga. Mama lupa? Seharusnya Mama
meminta pendapatku tentang hal ini. Bukan diam-diam seperti ini.”
“Mama tak
pernah lupa. Ini wasiat! Ini juga demi perusahaan keluarga kita. Dan kamu ahli
warisnya.”
“Mama dan
Papa seharusnya mengerti kemauanku. Aku dengan Senja.”
“Kamu yang
harus mengerti orang tua, Lang.”
“Mama dan
Papa pernah menjadi seorang anak. Tapi aku belum pernah menjadi kalian, orang
tua. Seharusnya kalian mengerti!”
“Itu
pendapatmu. Turuti Mama jika tak ingin durhaka. Satu lagi, undangan sudah Mama
sebar. Jangan macam-macam.”
“Tapi,
Maa..”
***
....
“Minggu depan
kalian menikah. Apa kalian sudah saling bicara, Jingga?”
“Belum, Ma.
Kami akan bicara secepat mungkin. Sepertinya Elang belum tahu.”
“Baiklah. Lakukan
yang terbaik.”
“Iya, Ma.” Hatinya
sangat ngilu. Ia tak tahu apa yang akan dikatakannya pada Senja. Meski ia tahu
bahwa Senja sangat menyukai Elang, pun juga Elang. Namun, ia juga tak mampu
membohongi perasaannya. Bahwa ia juga menaruh rasa istimewa itu pada Elang, sejak
pertama bertemu. Mereka bertiga mampu membungkus perasaan istimewa itu
rapat-rapat. Kali ini Jingga akan segera memiliki Elang. Segera.
***
“Hari ini Senja
harus tahu.”
“Kau gila,
kemarin dia baru saja sampai. Besok juga adalah ulang tahunnya. Kau mau merusak
kebahagiaannya? Teganya kau.”
“Apa
peduliku? Baiklah. Jika kau hanya bersembunyi. Aku sendiri yang akan
mengatakannya. Tiga hari lagi kita akan menikah, Elang. Ingatlah!”
“Setega
itukah, kau? Bencikah kau padanya?”
“Aku tak
membencinya. Aku hanya cemburu saja. Tujuh tahun bersahabat dan kau hanya
memperhatikan dia. Aku sahabatmu juga, kan? Aku juga menyukaimu. Aku cantik dan
aku pantas untukmu. Tentang wasiat kakek kita, aku sangat bersyukur. Ini
kebetulan yang luar biasa. Meskipun pernikahan ini atas dasar wasiat dan
perusahaan, aku yakin, lambat laun kau akan mencintaiku juga.”
“Kau gila! Itu
tak akan terjadi! Aku bersumpah!”
Mereka tak
lagi berdebat setelah Senja menyapa mereka dari kejauhan dan mencoba memasuki
kedai dimana mereka bertiga telah berjanji sebelumya.Keadaan di luar kedai
sangat ramai oleh orang yang akan pergi atau sudah berkunjung ke pasar malam dan
hiruk pikuk itu membuat Senja kesulitan masuk ke dalam kedai. Malam itu sangat
ramai. Kedai berada di sebelah pasar malam.
“Hoi.”
Sembari melambai. Jingga membalas lambaian itu. Di dalam kedai sangat sepi.
Kontras dengan keadaan di luarnya.
“Jadi,
bagaimana wisata spiritualmu?” Jingga bertanya setelah Senja duduk di
sebelahnya dan sedang merapikan poninya yang agak berantakan karena berjibaku dengan
orang-orang di luar kedai.
“Yah, kalian
tahu. Aku sangat lega. Aku berada di tempat dimana mereka mengehembuskan nafas
terakhir setelah kecelakaan maut itu. Aku juga menyambangi tempat penyemayaman
terakhir mereka. Mengelus nisan mereka. Menciuminya. Itu.. Melunturkan rinduku
pada mereka. Oh ya, saat aku berjalan-jalan di Malioboro, aku juga bertemu
Dave. Iya, kurasa itu Dave, teman Elang.” Senja tersenyum. Senyum termanis dan
tersejuk yang pernah ia berikan pada kedua sahabatnya itu. “Lantas, selama aku
tak disini, apa yang kalian lakukan?”
“Tunggu.
Dave? Dia memang tak kelihatan di kampus. Selama kau pergi, kami hanya menanti
kepulanganmu.” Gombal. Elang tersenyum. Lembut sekali. Itu membuat Senja sangat
bahagia.
“Oh, ya. Besok
ulang tahunmu, Senja. Kami punya sesuatu.” Ujar Jingga tak terduga. Senja baru
ingat, bahwa besok adalah ulang tahunnya. Jika tak diingatkan, Senja pastilah
sangat lupa. Hari ulang tahunnya berdekatan dengan hari kematian orang tuanya.
Jika begitu, ia akan lupa hari bahagianya. Itulah Senja. Jingga menyodorkan
sebuah kertas bewarna merah di atas meja. Di atasnya terukir dua nama.
Sepertinya itu undangan. Namun, masih samar nama-nama siapa yang ada disana.
Senja
menarik kertas itu perlahan. Menatap Jingga yang memandangnya penuh senyum.
Ceria. Senja enggan mengartikan senyum itu. Bergantian ia menatap Elang yang
membuang pandangan ke arah luar jendela kedai. Tak acuh atau mungkin menghindar
dari tatapan Senja. Perlahan, Senja mengangkat kertas itu dan membaca nama-nama
itu. Semakin dekat ia mengarahkan kertas itu ke matanya. Mungkin tak percaya
dengan nama yang dibacanya dan dicerna dalam otaknya. Hatinya runtuh.
“Apa
atinya?” Ia memandang keduanya. Mungkin marah. Mungkin kecewa.
“Artinya, kami..”
“Jingga,
hentikan! Apa yang kau lakukan!” protes pada Jingga. Ia sangat marah.
“Tak apa
Elang. Aku bisa mengartikannya. Aku pergi dulu.” Pipinya memanas. Air matanya
berlinang. Ia bangkit dan berlari.
“Senja..
Tunggu.. Aku bisa menjelaskan.” Elang mengejar Senja, menembus keramaian di
luar kedai. Kemudian ia berhenti. Selimut malam dan keramaian membuatnya cepat
kehilangan jejak Senja. Senja menghilang. Persahabatan mereka yang terlihat
indah itu kini hancur.
Seorang
lelaki masih mematung di sudut kedai. Mengepalkan tangan kanannya. Memandang
Jingga dengan marah.
***
Senja
berdiri di pucuk tebing, 10 m di atas permukaan laut. Karang yang tajam muncul
di permukaan laut di bawah ia berdiri. Angin menerbangkan aroma asin dan suara
ombak yang memecah karang. Ia menggenggam undangan yang kemudian dirobeknya, di
hamburkan ke laut. Matanya sembab. Wajahnya pucat pasi. Ia sangat terluka. Kemudian
ia mengambil bingkai foto 25X26 cm dari dalam tasnya. Memandangi subjek yang
ada di dalam foto itu. Dalam foto itu, ada gadis cantik berusia 7 tahun yang di
gandengkedua orang tuanya. Keluarga kecil nan bahagia. Ia berbisik “Aku
berharap tak akan tersesat. Aku akan sesegera mungkin menemui kalian. Di syurga
yang abadi.” Ia menatap ke samudera luas di depannya. Lantas menatap ke bawah. Sepertinya,
Senja akan menceburkan diri. Selangkah lagi tubuhnya pasti akan mendarat di
atas karang. Kemudian, tebak sendiri apa yang akan terjadi.
Dave menarik
lengan Senja kuat-kuat mengarahkan tubuh Senja menuju pelukannya. Benar atau salah,
ia tetap saja melakukannya. Senja yang kaget sontak mendongak menuju wajah
sosok yang menggagalkan rencananya itu. Ia menatap wajah Dave lekat-lekat
dengan marah dan kecewa. Menatap wajah lelaki yang terlihat sangat panik dan tegang.
Senja ingin meronta. Apa daya tenaganya hanya cukup untuk memegangi bingkai
foto erat-erta dan menguatkan kaki ringkihnya untuk menopang tubuhnya. Kemarau
di wajah Senja. Ia ingin menangis. Sudah lebih dari 48 jam ia menangis dan
mencoba menangis lagi.
“Kenapa kau
melakukannya?” ucapnya lirih.
“Karena aku
lebih pantas daripada Elang.”
“Aku seperti
menggenggam udara. Tak berguna.”
“Kau akan
menggenggam tanganku.”
“Biarkan aku
mati. Lepaskan aku.”
“Kau akan
tersesat. Tak akan ku biarkan.”
“Mereka
menghianatiku.”
“Lupakan
saja.”
“Tak semudah
yang kau katakan.”
“Itu mudah.
Percayalah.”
“Henti...”
tak sanggup melanjutkan, tubuhnya melemas. Kelelahan.
“Tidurlah.”
Senja
tertidur dalam pelukan Dave. Lelaki yang selalu memperhatikannya. Di seberang
lapangan, di sudut kantin, di Danau Ilalang, di Jogja, di kedai dan dimana pun
Dave mampu menjangkau Senja. Perempuan yang sangat ia sukai, ia cintai.
Di saat
bersamaan namundi lokasi yang berbeda. Penghulu menjabat tangan Elang erat
sekali. Jingga duduk di sebelahnya berbalut baju pengantin bewarna merah.
Cantik sekali. Ijab kabul akan segera dilakukan. Sebelum itu terjadi. Tiba-tiba
Elang melepaskan tangan penghulu dan bangkit berdiri. Secepat kilat ia berlari.
Ia tak akan menikahi orang yang tak disayanginya. Tak ada yang bisa
menghentikan laju larinya. Ia lenyap. Danau Ilalang. Hanya tempat itu yang ada
di kepalanya. Ia berharap Senja ada di sana. Menunggunya.*
***
Tiga hari kemudian, Senja
terperanjat membaca headline surat
kabar langganannya.
SEORANG PEMUDA TEWAS
TENGGELAM
E
|
lang
Putra Widjajanto, 23, putra semata wayang
pengusaha, Rajawali Widjajanto ini di temukan tewas di Danau Ilalang. Diduga ia
bunuh diri lantaran menolak menikah dengan seorang model bernama Asmaradhana
Jingga Putri. Mayatnya ditemukan..
Belum
sempat ia melanjutkan, tiba-tiba ia merasa pusing. Pandangannya mulai kabur.
“Elang. Tak mungkin kau melakukan hal bodoh
itu. Aku menyukaimu.. Aku menc..”dan semua
menjadi gelap. Senja tergeletak di beranda rumah. Terkapar
mendekap dengan eratkoran yang baru saja dibacanya. Kekalutan menyergapnya.Hujan
turun. Air hujan menggenangi taman di halaman depan rumahnya.
***
*Elang telah sampai di Danau Ilalang. Sepi. Tak ada
Senja, tak ada siapapun. Ini bukan tanggal 14. Senja tak mungkin menunggunya. Kecewa.
Hujan semalam membuat liat dan licin tanah sekitar danau. Air danau yang
biasanya hijau kini menjadi coklat. Ia menuju tepian danau. Berteriak kencang
sekali “Senjaaa.. percayalah padaku. Aku menyukaimu.. Aku mencin..” Ia
terpeleset dan terjatuh. Kakinya tak sanggup menopang tubuhnya. Ia kelelahan
setelah berlari jauh.Tak hanya itu, jiwanya pun merapuh.. Byurr.. Ia tercebur
dan tenggelam. Lantas menghilang.