Assalamu'alaikum :)

Sabtu, 15 Maret 2014

DANAU ILALANG



            ....
“Elang, ada yang ingin kutanyakan padamu. Bolehkah aku bertanya?”
“Boleh. Bertanyalah.”
“Aku....” belum sempat Senja melanjutkan, tiba-tiba ia memutuskan perbincangan. Mematikan telepon genggamnya dan meletakkannya di meja di beranda rumahnya. Batal bertanya. Ia kembali duduk malas dan mendekap bingkai foto 25X26 cm di dadanya sembari meperhatikan air hujan yang kini telah menggenangi taman di halaman depan rumahnya.Sama seperti air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Entahlah. Bahkan ia tak tahu apa yang ia rasakan sekarang.
***
“Huwei!” Jingga menepuk punggung Senja.
“Au.” Seketika itu lamunannya buyar. “Jinggaaa!” Setengah berteriak sembari memasang muka sebal pada sahabatnya yang kini menemaninya duduk di tepi lapangan basket kampusnya.
“Elang mana?”
“Apa? Elang? Kenapa bertanya? Sudah jelas tak disini.”
“Ih sinisnya.” Goda Jingga dan mencubit gemas pipi Senja. Senja meronta.
“Jinggaaa.. Sakit!” mengelus pipinya yang memerah. Kesakitan. “Entahlah. Sudah seharian ini aku tak melihatnya. Di lapangan basket ini pula aku tak menjumpainya. Kukira kau sedang dengannya.” Lanjutnya.
“Tidak. Malah aku mengira kau sedang dengannya. Bukankah seperti biasanya ia disini? Baiklah. Aku akan mencoba menelponnya. Kau belum melakukannya, kan?”
“Belum. Tak terfikirkan.”
“Eh?” menatap Senja heran. Namun, Jingga memaksa diri untuk tak bertanya lebih jauh. Ia tahu, Senja pasti tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tak biasa. “Elang. Kau dimana?”
“Aku? Di kantin. Ada apa?” Suara dari seberang telepon menjawab.
“Ada apa tanyamu? Kami mencarimu! Jangan kemana-mana kami akan kesana.” Jingga menutup telponnya. “Elang di kantin. Ayo kesana.” Menarik tangan Senja yang terlihat enggan.
Di seberang lapangan, seorang lelaki tengah memperhatikan mereka.
Sesampainya di kantin, Senja dan Jingga langsung duduk di dekat Elang. Kedatangan dua dara cantik ini seketika menyita perhatian para penghuni kantin, terutama mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Maklum saja. Senja Prameswariadalah gadis berparas cantik, berambut lurus panjang, berkulit putih bersih dan tergolong mahasiswi yang pandai. Gadis ini terkenal baik dan ramah pada semua orang. Sudah cantik, pintar, baik pula. Begitulah kebanyakan orang menyebutnya. Asmaradhana Jingga Putri adalah seorang mahasiswi yang merangkap sebagai model majalah remaja. Tak usah di ragukan, kecantikannya pasti meluluhkan hati para lelaki. Banyak sekali lelaki yang mencoba mendekatinya dan memintanya menjadi kekasih, namun Jingga selalu menolaknya. Jingga berasal dari keluarga terpandang. Meski begitu, ia tak pernah sombong dan tak pernah memamerkan kekayaan keluarganya. Senja dan Jingga. Jika mereka berdua di sandingkan, pastilah banyak orang mengira bahwa mereka berdua kembar.Sejatinya mereka tak sama. Mereka adalah dua gadis yang berbeda.
“Tak seperti biasanya.” Jingga protes.
“Aku sehat dan baik-baik saja.” Seperti tahu yang dimaksudkan Jingga, secepat mungkin ia berkilah. Hari ini ia enggan main basket dan sepertinya memang ada yang disembunyikan Elang. Sedangkan Senja, hanya tersenyum sambil memperhatikan air muka Jingga yang mulai sebal. Sama seperti yang ia lakukan saat Jingga mengejutkannya tadi.
Mereka bertiga adalah trio populer di kampus. Dua gadis cantik dan seorang lelaki tampan. Persahabatan manis mereka dimulai sejak mereka bertemu di MOS semasa SMA. Kini, persahabatan mereka telah memasuki tahun ke-7. Meski terlihat sangat harmonis, tetap saja mereka manusia biasa. Konflik-konflik kecil juga tak jarang menerjang mereka. Menguji persahabatan mereka.
Elang Putra Widjajanto adalah putra tunggal pengusaha kaya yang sangat begelimang harta. Meski begitu, ia sangat sederhana. Tampan dan jago basket. Banyak gadis berusaha mendekatinya. Elang lebih suka bersikap dingin jika di depan gadis lain, namun tidak jika sedang bersama kedua sahabatnya. Itulah Elang.
“Baiklah. Hari ini tanggal 14. Seperti biasa. Nanti sore jam 4 kita berkumpul disana. Aku sudah rindu tempat itu.” Ujar Senja antusias dan sepertinya itu mulai mencairkan suasana yang membeku selama 15 menit. Mereka bertiga mulai berbincang seru. Membicarakan hal-hal lucu yang seharian ini mereka alami di kampus. Senja dan Elang tak lagi menampakkan wajah enggan. Mereka larut dalam perbincangan-perbincangan seru.Jingga bersyukur dalam hati.
By the way, Senja, Elang. Maaf ya, sepertinya hari ini aku tak ikut ke danau itu. Aku harus ke studio. Ada kontrak pemotretan yang harus aku kerjakan untuk sampul majalah. Tak masalah, kan?”
“Umm, sang model lagi sibuk, ya? Yah, sayang sekali, padahal hanya sebulan sekali kita kesana.”
“janji deh, bulan depan aku tak akan absen.” Sembari tertawa kecil.
“Jingga tak datang. Jadi, bagaimana denganmu, Lang? Apa kau juga berhalangan?”
“Tidak, aku akan datang, Senja. Kau tenang saja. Oke. Sudah saatnya pulang. Ayo!”
Mereka bertiga bangkit dan pergi meninggalkan kantin. Canda tawa masih menghiasi mereka. Terlihat sangat bahagia.
Disudut kantin,seorang lelaki tengah memperhatikan mereka.
***
14 Februari 2012, 16:00 WIB, Danau Ilalang.
Danau Ilalang. Nama yang cukup “aneh” untuk sebuah tempat. Sama seperti namanya, keberadaan danau inidulunya memang dikelilingi oleh ilalang. Namun, sekarang ilalang itu sudah tak nampak lagi. Hanya sebuah danau tanpa ilalang di sekelilingnya. Meski keadaannya berubah, panorama disekitar danau yang masih indah tetap menjadikannya destinasi bagi beberapa orang yang ingin sejenak melepas penat. Entah untuk sekedar duduk-duduk di bangku dekat danau atau memancing ikan-ikan yang menghuni danau tersebut.
Setiap sore di tanggal 14, mereka bertiga selalu mengunjungi tempat ini. Mengapa memilih tempat ini? Karena tempat ini mampu membuat penat mereka terlepaskan. Dan mengapa memilih tanggal 14? Karena tanggai 14 adalah tanggal dimana mereka pertama kali dipertemukan. Mereka bertiga sepaham mengenai itu semua. Sore itu danau sangat sepi. Biasanya ada saja orang yang berkunjung ke danau tersebut, entah 1 atau 2 orang. Namun kali ini tidak. Kebetulan atau tidak, di tepian danau ini hanya ada Senja seorang. Senja yang menunggu Elang. Elang yang sore itu ingin mengungkapkan perasaan istimewanya kepada Senja. Perasaan yang selama 7 tahun terpendam.
“Kau sudah sampai?”tanya Elang dalam pesan singkat.
“Sudah. Aku menunggumu di tempat biasa.”
“Baiklah.”
“Ah Elang, kau selalu saja begini. Membiarkan wanita cantik ini menunggumu.” Gumam Senja dalam hati. Tak selang beberapa lama Elang pun datang. Dengan sedikit berlari kecil ia menghampiri Senja yang tengah duduk manis di sebuah bangku kayu dekat dengan tepian danau.
“Sudah lama?”
“Belum, hampir 60 menit.”
“Jalanan macet. Jadi harap maklum.” Cuek. Bukan malah meminta maaf tetapi ia malah mengacak-acak poni Senja dengan liarnya. Mungkin dia gemas dengan ekspresi Senja yang sedikit sebal karena telah menunggu lama. Meski begitu, ia tetap terlihat cantik.
“Hentikan Elang.” Sembari memukul mundur tangan Elang dan menyisir poni miliknya dengan jemari tangan kanannya hingga rapi.
“Jadi, apa yang ingin kau tanyakan padaku kemarin?”
“Apa? Sudah lupakan saja.”
“Tanyakan saja.”
“Baiklah. Apa kau ingat hari kematian orang tuaku? Itu saja yang ingin aku tanyakan.”
Satu menit berlalu, Elang pun menjawab. “Iya, aku mengingatnya. Dua hari lagi, kan?Lantas, apa rencanamu?”
“Entahlah. Mungkin ini sedikit gila.”
“Ceritakan apa yang ingin kau lakukan.”
“Tidak, aku juga akan memikirkannya lagi. Sendiri. Setelahnya, akan aku ceritakan padamu dan Jingga.” Diam sejenak. “Tak terasa sudah 16 tahun berlalu. Selama itu pun aku hidup dengan Bi Inah dan Mang Ujang. Biaya hidup kami dan gaji mereka bergantung pada transferan dari Pamanku. Sudah saatnya mereka kembali kekeluarganya di kampung.” Senja bercerita. Elang masih memperhatikannya dalam diam sembari memikirkan kata-kata yang tepat untuk menanggapi cerita Senja.
“Jadi, apa itu bagian dari rencana gilamu? Mengembalikan mereka kekeluarganya? Tunggu, kau masih punya paman, kan? Mengapa kau tak tinggal dengannya saja?”
“Bukan bukan. Itu hanya rencana jangka pendek saja. Dan itu bukan rencana gila.” Berhenti sejenak untuk menarik napas panjang. Kemudian melanjutkan. “Pamanku tinggal di Jepang. Tak mungkin aku tinggal bersamanya. Lagi pula, setelah kematian tragis orang tuaku karena kecelakaan mobil, yang bertanggung jawab membesarkanku adalah Bi Inah dan Mang Ujang. Bukan Pamanku.” Matanya mengahangat. Ia ingin menangis saat mengingat orang tuanya. Namun urung dilakukan. Takut kalau Elang akan ikut sedih juga.
Melihat Senja yang kalut perasaannya, perasaan Elang pun juga makin tak karuan. Ia sangat ingin menjaga Senja sampai akhir hayatnya. Meski ia tak pernah berani mengatakannya dan sore ini ia baru akan mengatakannya, tetapi sepertinya batal. Tak mungkin ia mengatakan niatnya itu di saat Senja sedang berduka. Tanpa berkata-kata, Elang langsung merangkul bahu Senja yang duduk di sebelahnya. Mencoba menenangkannya.
Cahaya keoranyean menyapu wajah mereka berdua. Mentari sebentar lagi tak nampak. Senja dan Elang memutuskan untuk pulang. Mereka bangkit. Elang menggenggam kedua tangan Senja. Erat sekali. Senja terkaget. Sorot mata Elang yang tulus menatapnya tajam. Seketika itu pula desiran rasa aneh menyelimuti diri Senja. Elang merasakan hal yang sama. Meski hanya mampu memendam, sepertinya mereka tahu perasaan masing-masing. Bahwa mereka berdua sejak lama telah saling menyukai. Sejak pertama kali bertemu, lebih tepatnya. Setelah lama berpandangan, Elang mengatakan sesuatu.
“Kapan kau membutuhkanku, aku akan selalu ada untukmu. Jadi, terbukalah.”
“Aku tahu.”
Setelah puas memandangi Danau Ilalang, mereka segera kembali menuju mobil. Elang akan mengantarkan Senja pulang. Sesampainya di parkiran mobil, Elang melihat Dave, kapten tim basketnya sedang duduk di trotoar dekat mobil yang di parkirnya.
“Sedang menunggu seseorang, Dave?”
“Ah kau? Tidak.” Dave sadar dari lamunannya. Menatap Elang yang menyapanya. Kemudian beralih menatap seseorang yang digandeng Elang. “Senja?” menyebut nama Senja dalam bisikan.
“Baiklah. Kami akan pulang. Apa kau butuh tumpangan? Sepertinya kau tak membawa mobil?”
“Wah, terima kasih sekali. Tidak. Aku sudah memesan taksi untuk menjemputku. Kau pulanglah dulu.”
“Ya sudah, kami pulang dulu.”
Lambaian tangan Senja dari dalam mobil dan klakson yang dibunyikan Elang mengakhiri perjumpaan mereka kala itu.
Dan sepasang mata masih mengamati mobil yang membawa Elang dan Senja pulang hingga mobil itu lenyap dari pandangan.
***
Guys, tebak apa ini?” Sembari menunjukkan selembar kertas A4. Tiket pesawat yang di beli secara online dan belum di tukarkan.
“Tiket pesawat?” Jingga menebak.
“Betul sekali.”
“Apa? Kau mau kemana? Kenapa mendadak?”
“Ah Elang, sudahlah. Ini rencana gilaku. Aku akan menghabiskan 1 minggu di Jogja. Tempat dimana orang tuaku meninggal dan di makamkan, 16 tahun yang lalu. Aku ingin menengok mereka dan menunggui mereka di hari kematiannya. Besok aku akan berangkat.”
“Apa?” Elang dan Jingga bersamaan. Senja hanya tersenyum. Ini gila.
***
....
“Apa? Mama keterlaluan. Mengapa Mama melakukannya?”
“Ini wasiat,Elang! Wasiat dari almarhum kakek kalian. Kami sudah melamarkan Jingga untukmu 2 hari yang lalu. Dia menerimanya. Tinggal pernikahan saja. Pernikahan!”
“Tanggal 14? Tapi Mama tahu, kan? Aku cinta Senja! Bukan Jingga. Mama lupa? Seharusnya Mama meminta pendapatku tentang hal ini. Bukan diam-diam seperti ini.”
“Mama tak pernah lupa. Ini wasiat! Ini juga demi perusahaan keluarga kita. Dan kamu ahli warisnya.”
“Mama dan Papa seharusnya mengerti kemauanku. Aku dengan Senja.”
“Kamu yang harus mengerti orang tua, Lang.”
“Mama dan Papa pernah menjadi seorang anak. Tapi aku belum pernah menjadi kalian, orang tua. Seharusnya kalian mengerti!”
“Itu pendapatmu. Turuti Mama jika tak ingin durhaka. Satu lagi, undangan sudah Mama sebar. Jangan macam-macam.”
“Tapi, Maa..”
***
....
“Minggu depan kalian menikah. Apa kalian sudah saling bicara, Jingga?”
“Belum, Ma. Kami akan bicara secepat mungkin. Sepertinya Elang belum tahu.”
“Baiklah. Lakukan yang terbaik.”
“Iya, Ma.” Hatinya sangat ngilu. Ia tak tahu apa yang akan dikatakannya pada Senja. Meski ia tahu bahwa Senja sangat menyukai Elang, pun juga Elang. Namun, ia juga tak mampu membohongi perasaannya. Bahwa ia juga menaruh rasa istimewa itu pada Elang, sejak pertama bertemu. Mereka bertiga mampu membungkus perasaan istimewa itu rapat-rapat. Kali ini Jingga akan segera memiliki Elang. Segera.
***
“Hari ini Senja harus tahu.”
“Kau gila, kemarin dia baru saja sampai. Besok juga adalah ulang tahunnya. Kau mau merusak kebahagiaannya? Teganya kau.”
“Apa peduliku? Baiklah. Jika kau hanya bersembunyi. Aku sendiri yang akan mengatakannya. Tiga hari lagi kita akan menikah, Elang. Ingatlah!”
“Setega itukah, kau? Bencikah kau padanya?”
“Aku tak membencinya. Aku hanya cemburu saja. Tujuh tahun bersahabat dan kau hanya memperhatikan dia. Aku sahabatmu juga, kan? Aku juga menyukaimu. Aku cantik dan aku pantas untukmu. Tentang wasiat kakek kita, aku sangat bersyukur. Ini kebetulan yang luar biasa. Meskipun pernikahan ini atas dasar wasiat dan perusahaan, aku yakin, lambat laun kau akan mencintaiku juga.”
“Kau gila! Itu tak akan terjadi! Aku bersumpah!”
Mereka tak lagi berdebat setelah Senja menyapa mereka dari kejauhan dan mencoba memasuki kedai dimana mereka bertiga telah berjanji sebelumya.Keadaan di luar kedai sangat ramai oleh orang yang akan pergi atau sudah berkunjung ke pasar malam dan hiruk pikuk itu membuat Senja kesulitan masuk ke dalam kedai. Malam itu sangat ramai. Kedai berada di sebelah pasar malam.
“Hoi.” Sembari melambai. Jingga membalas lambaian itu. Di dalam kedai sangat sepi. Kontras dengan keadaan di luarnya.
“Jadi, bagaimana wisata spiritualmu?” Jingga bertanya setelah Senja duduk di sebelahnya dan sedang merapikan poninya yang agak berantakan karena berjibaku dengan orang-orang di luar kedai.
“Yah, kalian tahu. Aku sangat lega. Aku berada di tempat dimana mereka mengehembuskan nafas terakhir setelah kecelakaan maut itu. Aku juga menyambangi tempat penyemayaman terakhir mereka. Mengelus nisan mereka. Menciuminya. Itu.. Melunturkan rinduku pada mereka. Oh ya, saat aku berjalan-jalan di Malioboro, aku juga bertemu Dave. Iya, kurasa itu Dave, teman Elang.” Senja tersenyum. Senyum termanis dan tersejuk yang pernah ia berikan pada kedua sahabatnya itu. “Lantas, selama aku tak disini, apa yang kalian lakukan?”
“Tunggu. Dave? Dia memang tak kelihatan di kampus. Selama kau pergi, kami hanya menanti kepulanganmu.” Gombal. Elang tersenyum. Lembut sekali. Itu membuat Senja sangat bahagia.
“Oh, ya. Besok ulang tahunmu, Senja. Kami punya sesuatu.” Ujar Jingga tak terduga. Senja baru ingat, bahwa besok adalah ulang tahunnya. Jika tak diingatkan, Senja pastilah sangat lupa. Hari ulang tahunnya berdekatan dengan hari kematian orang tuanya. Jika begitu, ia akan lupa hari bahagianya. Itulah Senja. Jingga menyodorkan sebuah kertas bewarna merah di atas meja. Di atasnya terukir dua nama. Sepertinya itu undangan. Namun, masih samar nama-nama siapa yang ada disana.
Senja menarik kertas itu perlahan. Menatap Jingga yang memandangnya penuh senyum. Ceria. Senja enggan mengartikan senyum itu. Bergantian ia menatap Elang yang membuang pandangan ke arah luar jendela kedai. Tak acuh atau mungkin menghindar dari tatapan Senja. Perlahan, Senja mengangkat kertas itu dan membaca nama-nama itu. Semakin dekat ia mengarahkan kertas itu ke matanya. Mungkin tak percaya dengan nama yang dibacanya dan dicerna dalam otaknya. Hatinya runtuh.
“Apa atinya?” Ia memandang keduanya. Mungkin marah. Mungkin kecewa.
“Artinya, kami..”
“Jingga, hentikan! Apa yang kau lakukan!” protes pada Jingga. Ia sangat marah.
“Tak apa Elang. Aku bisa mengartikannya. Aku pergi dulu.” Pipinya memanas. Air matanya berlinang. Ia bangkit dan berlari.
“Senja.. Tunggu.. Aku bisa menjelaskan.” Elang mengejar Senja, menembus keramaian di luar kedai. Kemudian ia berhenti. Selimut malam dan keramaian membuatnya cepat kehilangan jejak Senja. Senja menghilang. Persahabatan mereka yang terlihat indah itu kini hancur.
Seorang lelaki masih mematung di sudut kedai. Mengepalkan tangan kanannya. Memandang Jingga dengan marah.
***
Senja berdiri di pucuk tebing, 10 m di atas permukaan laut. Karang yang tajam muncul di permukaan laut di bawah ia berdiri. Angin menerbangkan aroma asin dan suara ombak yang memecah karang. Ia menggenggam undangan yang kemudian dirobeknya, di hamburkan ke laut. Matanya sembab. Wajahnya pucat pasi. Ia sangat terluka. Kemudian ia mengambil bingkai foto 25X26 cm dari dalam tasnya. Memandangi subjek yang ada di dalam foto itu. Dalam foto itu, ada gadis cantik berusia 7 tahun yang di gandengkedua orang tuanya. Keluarga kecil nan bahagia. Ia berbisik “Aku berharap tak akan tersesat. Aku akan sesegera mungkin menemui kalian. Di syurga yang abadi.” Ia menatap ke samudera luas di depannya. Lantas menatap ke bawah. Sepertinya, Senja akan menceburkan diri. Selangkah lagi tubuhnya pasti akan mendarat di atas karang. Kemudian, tebak sendiri apa yang akan terjadi.
Dave menarik lengan Senja kuat-kuat mengarahkan tubuh Senja menuju pelukannya. Benar atau salah, ia tetap saja melakukannya. Senja yang kaget sontak mendongak menuju wajah sosok yang menggagalkan rencananya itu. Ia menatap wajah Dave lekat-lekat dengan marah dan kecewa. Menatap wajah lelaki yang terlihat sangat panik dan tegang. Senja ingin meronta. Apa daya tenaganya hanya cukup untuk memegangi bingkai foto erat-erta dan menguatkan kaki ringkihnya untuk menopang tubuhnya. Kemarau di wajah Senja. Ia ingin menangis. Sudah lebih dari 48 jam ia menangis dan mencoba menangis lagi.
“Kenapa kau melakukannya?” ucapnya lirih.
“Karena aku lebih pantas daripada Elang.”
“Aku seperti menggenggam udara. Tak berguna.”
“Kau akan menggenggam tanganku.”
“Biarkan aku mati. Lepaskan aku.”
“Kau akan tersesat. Tak akan ku biarkan.”
“Mereka menghianatiku.”
“Lupakan saja.”
“Tak semudah yang kau katakan.”
“Itu mudah. Percayalah.”
“Henti...” tak sanggup melanjutkan, tubuhnya melemas. Kelelahan.
“Tidurlah.”
Senja tertidur dalam pelukan Dave. Lelaki yang selalu memperhatikannya. Di seberang lapangan, di sudut kantin, di Danau Ilalang, di Jogja, di kedai dan dimana pun Dave mampu menjangkau Senja. Perempuan yang sangat ia sukai, ia cintai.
Di saat bersamaan namundi lokasi yang berbeda. Penghulu menjabat tangan Elang erat sekali. Jingga duduk di sebelahnya berbalut baju pengantin bewarna merah. Cantik sekali. Ijab kabul akan segera dilakukan. Sebelum itu terjadi. Tiba-tiba Elang melepaskan tangan penghulu dan bangkit berdiri. Secepat kilat ia berlari. Ia tak akan menikahi orang yang tak disayanginya. Tak ada yang bisa menghentikan laju larinya. Ia lenyap. Danau Ilalang. Hanya tempat itu yang ada di kepalanya. Ia berharap Senja ada di sana. Menunggunya.*
***
Tiga hari kemudian, Senja terperanjat membaca headline surat kabar langganannya.
SEORANG PEMUDA TEWAS TENGGELAM
E
lang Putra Widjajanto, 23, putra semata wayang pengusaha, Rajawali Widjajanto ini di temukan tewas di Danau Ilalang. Diduga ia bunuh diri lantaran menolak menikah dengan seorang model bernama Asmaradhana Jingga Putri. Mayatnya ditemukan..
                Belum sempat ia melanjutkan, tiba-tiba ia merasa pusing. Pandangannya mulai kabur.
“Elang. Tak mungkin kau melakukan hal bodoh itu. Aku menyukaimu.. Aku menc..”dan semua menjadi gelap. Senja tergeletak di beranda rumah. Terkapar mendekap dengan eratkoran yang baru saja dibacanya. Kekalutan menyergapnya.Hujan turun. Air hujan menggenangi taman di halaman depan rumahnya.
***
*Elang telah sampai di Danau Ilalang. Sepi. Tak ada Senja, tak ada siapapun. Ini bukan tanggal 14. Senja tak mungkin menunggunya. Kecewa. Hujan semalam membuat liat dan licin tanah sekitar danau. Air danau yang biasanya hijau kini menjadi coklat. Ia menuju tepian danau. Berteriak kencang sekali “Senjaaa.. percayalah padaku. Aku menyukaimu.. Aku mencin..” Ia terpeleset dan terjatuh. Kakinya tak sanggup menopang tubuhnya. Ia kelelahan setelah berlari jauh.Tak hanya itu, jiwanya pun merapuh.. Byurr.. Ia tercebur dan tenggelam. Lantas menghilang.

SEPERSEKIAN DETIK

Terheran aku melihat rupa sang pengetuk  rumahku, sepersekian detik aku termangu mengingat-ingat dia. Rupanya dialah seseorang dari masalaluku yang telah kubuang kisah percintaan itu dari ingatanku. Kulihat wajahnya bersinar berhias senyuman termanis yang selalu ia berikan kepadaku seperti biasanya. Disepersekian detik kedua, aku kembali termangu, ia tetap saja tersenyum menunggu imbal balik dariku. Akankah ia meminang senyumku yang telah lama pudar untuknya karena putusnya tali yang telah kami jalin? Kini, disepersekian detik berikutnya aku tetap saja dingin sedingin bongkahan es yang terus memadat dan dingin meskipun suhu lingkungannya melebihi seratus derajat selsius. Senyumnya tak henti berhias, sedangkan hatiku remuk melihat sang penjatuh impianku berdiri tepat di depanku. Melihat aku segan akan kehadirannya dan enggan mempersilakan ia memasuki rumah, ia pun akhirnya mengeluarkan sebuah suara. Suara! Suara yang dulunya selalu memberikan ketenangan sanubariku.
“Aku akan meminang seorang gadis. Sudikah kau hadir dalam perayaannya?” sembari menyodorkan sebuah undangan dengan sampul berwarna emas bersinar.
“Sungguh dengan berbaik hati aku sudi. Terima kasih.” Aku menerima undangan itu dengan tangan bergetar, hati pun ikut. Berjuang menahan air muka yang telah habis ingin menyimbahkan air mata dan menggantinya dengan beberapa simpul senyuman palsu. Jangan dia mengetahui itu. Tak tega hatiku.
Kemudian dia berpamitan. Sepersekian detik terakhir aku tetap saja memandangi punggungnya yang berlalu dan menghilang di jalanan depan rumahku. Tak kuasa aku menahan air mata itu. Berlari menuju kamar dan aku mulai memebenamkan wajahku di bantal berbentuk hati pemberiannya seraya memengang erat undangan yang baru saja di berikannya. Pemberian yang berhasil mengoyak jiwaku.
Aku berbohong. Aku berbohong bahwa putusnya tali antara kita telah membuatku lupa akan kisah indah yang telah kita jalani sebelumnya. Hingga kini pun, setelah jatuh Purnama ke empat puluh delapan, tetap saja aku mengingat wajahnya dan acap kali meminta Tuhan untuk mendatangkannya ke hadapku, meski itu hanya dalam mimpi.  Ah! Bolehlah Engkau mengembalikan kepadaku, wahai Sang Pemilik cinta? Aku tetap saja mengingat manis kisah percintaan yang telah lama kami rajut, dahulu. Aku juga mengingat batapa masamnya takdir kami dan ridha yang tak kunjung di dapat dari kedua orang tuaku. Penghalang. Aku juga mengingat bahwasannya kala itu ia memutus benang kami dan ia berkata bahwasannya kami tak jodoh. Dengan ringan ia berkata seperti itu. Dan dengan berat aku berkata bahwa aku sepaham dengannya. Baiklah. Sepersekian detik kemudian aku khilaf. Aku telah mahfum dan tak akan mengeluh padaNya. Sungguh. Biar kulepas dia. Kuikhlaskan dia untuk perempuan pilihannya. Takdir dariNya. Akan kuperoleh kelegaan jika aku benar melepasnya dari hati terdalamku. Sungguhpun aku tak mampu, tak akan jua ia kumiliki. Pastilah Tuhan akan menggantinya lebih baik lebih dari lelaki penjatuh mimpiku. (Ze*)
Pasuruan, 16 Maret 2014