Ilusi
...
“Jangan
lupa mengirimkan e-mail. Ceritakan
apa pun yang sedang kau alami dan kau rasakan. Jika sempat aku akan membalas
secepat mungkin.”
“Aku tak akan lupa. Kenapa kau harus pergi?”
“Ini yang terbaik.”
“Untukmu. Tapi tidak untukku.”
“Kau bercanda? Ini yang terbaik untuk orang tuaku. Oh
ayolah, Dir. Kita akan tetap bersahabat. Aku janji. Jangan kekanakan. Ayolah,
Dir!”
“Baiklah. Aku mengerti. Pasti mereka merindukan anaknya
yang telah lama hilang. Haha. Demimu aku akan menantikan kepulanganmu. Kapan
pun.”
“Manis sekali.”
Ah, Army. Kau adalah orang ketiga yang pergi
meninggalkanku. Cepat sekali. Orang pertama yang pergi dari hidupku adalah
Papaku. Pria yang telah 18 tahum menjadi orang tuaku dan tega meninggalkan
Mamaku dengan memilih menikahi sekretaris pribadinya. Yah! Aku tau, perempuan
itu hanya mengincar harta Papaku. Aku yakin. Jelas saja, Papaku adalah pemimpin
sebuah perusahaan eksportir minyak terbesar se-Indonesia. Perempuan mana yang
tak tertarik padanya, hartanya, kekayaannya? Sayangnya, Papa tak setia.
Tergoda. Ah, Papa! Apa? Oops, apa kau masih Papaku? Menafkahi atau memberi
kasih sayang pun sudah tak pernah. Bertemu? Apa lagi. Tak pernah. Atau? Aku
sudah bukan anaknya lagi? Entahlah. Aku tak peduli.
Kedua,
aku kehilangan jejak seseorang telah kusinggahi rahimnya. Yah! Mamaku. Ibu
tercantik yang pernah ku miliki. Dalam hidupku, ia adalah bidadari yang selalu
hadir dalam nyata maupun maya. Namun, paradigma itu seketika berubah setelah
Papaku lebih memilih serumah dengan perempuan lain. Mama menjadi jarang pulang.
Tiap pulang pun ia selalu marah-marah. Tak jarang aku menemukan
berpuntung-puntung rokok hasil hisapannya berserakan di bawah meja riasnya.
Begitupun botol-botol kosong minuman yang memabukkan sering tergeletak di meja
makan. Yah! Mama yang meninggalkan botol-botol itu. Neraka! Kini jejaknya
hampir tak tampak. Ia hanya muncul dalam sidang perceraiannya. Pun ia tak
pulang ke rumah. Dan yang paling mencengangkan adalah aku pernah melihat
Mamaku, ibuku sendiri menggandeng mesra lengan bekas pacarku di sebuah tempat
perbelanjaan. Astaga! Pemandangan ganjil yang membuatku serasa ingin
memuntahkan segala isi perutku. Perceraian membuat Mamaku seakan-akan sudah
gila. Gila.
Terakhir,
aku akan segera kehilangan seorang yang bisa menjelma sebagai teman, sahabat,
kakak, musuh, bahkan menjadi seorang orang tua bagiku. Ah, Army. Berapa lama
kau akan membuatku seperti ini. Hariku adalah harimu. Kaulah satu-satunya
sahabat dalam hidupku yang tak pernah lekang oleh apapun. Suka dan dukaku, kau
selalu ada. Kini, kau akan menghabiskan waktumu di negara asalmu guna menemani
ibumu. Orang tua kandungmu. Ya! Delapan belas tahun mengenalmu dan kau masih
berada di posisi pertama dalam daftar pertemananku. Haha. Istimewa sekali.
“Jangan
melamun lagi.” Seketika lamunanku buyar. Suara itu terdengar jelas. Suara Army.
Ya, itu suara dia. Ah, apa aku mengabaikannya begitu lama? Aku melamun, ya?
Maaf. “Aku akan segera terbang. Dengar, Dir! Aku tahu kau akan mengangkat beban
ini sendiri. Tapi selalu berkeyakinanlah bahwa kau adalah ciptaanNya yang
berjiwa kuat. Tuhan tak akan memberimu beban melebihi kesanggupanmu
menopangnya. Dir, jaga diri.” Kemudian ia mendaratkan tubuhnya. Pelukan ini.
Hangat sekali. Kehangatan ini seperti ketika ulang tahunku yang ke tujuh belas,
dimana Papa dan Mama kompak memelukku erat seraya mengucapkan selamat. Apa?
Lupakan!
“Kau
tak usah mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja. Semuanya akan aman
terkendali. Meski tanpamu.” Aku berusaha menutupi kesedihanku dengan menampakkan
air muka kecerian sembari berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Namun, apa
daya. Aku tak mampu. Syukurlah.
“Kau
terlihat kuat.” Singkat, tapi bermakna. Entah makna apa.
“Terima
kasih. Kau akan tetap hidup dalam hatiku, sahabatku.” Telah lama kami saling
berpelukan, kemudian terdengar Tante Stefy‒Mamanya Army‒memanggil-manggil anak
angkatnya dari kejauhan. Kami saling melepaskan diri. Untuk yang terakhir
kalinya aku menatap lekat-lekat rambutnya, matanya, hidungnya, dan simpul
senyum di bibir merahnya yang tipis. Wajah Army. Ah, sahabatku. Aku akan
merindukanmu. Selamat jalan.
Aku
berdiri tegak memandangi punggunya yang kemudian menjadi samar. Bandara ini
ramai. Penuh sesak. Kulihat tubuh Army perlahan menghilang di telan lalu lalang
orang-orang dalam bandara ini. Aku termangu.
***
“Stop,
Pak!” aku memberhentikan taksi yang telah mengantarku menuju alamat tujuan.
“Berapa, Pak?”
“Empat
puluh delapan ribu, Non.” Aku mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari
dompetku. Ah! Mahal sekali. Seandainya aku masih menggunakan mobilku sendiri.
Pasti tak akan seboros ini.
“Makasih,
Pak. Kembaliannya ambil aja.” Brak! Aku menutup pintu taksi yang berhenti di
depan rumah bernomor 10 itu.
Aku
melangkah perlahan sembari memerhatikan rumah berlantai 2 yang terlihat sedih
itu. Pagar tinggi bercat hitam itu, kini mulai berkarat. Beberapa tanaman
menjalar tampak tumbuh subur melilit di pagar itu. Halaman yang dulunya adalah
taman depan rumah itu kini tak terawat. Rumput-rumput liar tumbuh dengan
liarnya. Tak pernah terpotong. Tak tersentuh. Kulihat pula cat rumah bewarna
hijau muda itu mulai pudar. “Iww.. Kotor sekali.” Batinku.
Aku
membuka pagar reot rumah itu. Krek! Rupanya karat benar-benar menguasai pagar itu.
Ah! aku tak peduli. Dengan enggan kakiku telah menginjakkan halaman depan rumah
itu. Tak kusangka mobil Honda Brio merah keluaran 2013 terpampang nyata
terparkir di depan garasi rumah itu. Ish! Aku baru ingat itu adalah mobil Mama.
Mamaku? Kenapa dia ada disini? Apa? Aku dimana? Rumah? Ah ya! Inilah rumahku.
Rumah paling dekil yang berada di antara rumah-rumah mewah di perumahan elite
ini. Maklum saja. Semenjak gugatan perceraian itu, para pembantu, tukang kebun
maupun supir pribadi, semua di diberhentikan paksa. Alhasil, ya seperti ini
keadaan rumahku. Aku sama sekali tak pernah berkeinginan merawat rumah ini.
Apalagi kakakku, Thomas. Mana peduli ia! Mengetahui Mama di rumah aku bergegas
memasuki rumah.
“Dari
mana, Dir?”
“Apa
paduli Mama?”
“Mama tanya
baik-baik kamu kok jawab gitu?”
“Apa
parlu lagi Mama mengurusi urusanku?”
“Dira!”
Aku berjalan
santai menuju kamar. Meninggalkan Mama yang ternganga akan sikapku. Brak! Ku
banting pintu kamar dan aku meringkuk di sudut kamar. Ada apa denganku? Aku membentak
Mamaku sendiri. Bukankah ia adalah ibuku sendiri yang mengandung dan
membesarkanku? Apakah ini caraku mengatakan bahwa aku sangat merindukannya?
Atau? Ini adalah bentuk kekecewaanku terhadapnya? Aku..
***
Tiga
hari sudah Mama berada di rumah. Kebetulan juga sekolahku libur karena aku
hanya menunggu pengumuman kelulusan. Sayang sekali. Army sudah pindah.
Seandainya ia masih ada, pastilah aku tak akan menghuni rumah ini. Aku akan
menginap di rumahnya sampai aku mengetahui bahwa Mama benar-benar tak sedang
berada di rumah. Aku muak!
“Army
kemana? Kok Mama ngga liat dia main
ke rumah?” suara itu mengagetkanku yang sedang memuangkan sereal di mangkuk
yang berisi susu putih kesukaanku. Tunggu? Mama bertanya? Yah, jika ku tanggapi
ini adalah obrolah pertama kami setelah bentakanku padanya.
“Dia ke
Amrik‒Amerika‒“
“Ngapain?”
“Ketemu
mama kandungnya!”
“Oh!
Seandainya kamu punya saudara disana, Mama akan kirim kamu kesana.”
Double what what?
Mama? Aku? Ke Amrik? Keren!
“Yaudah,
Mama titipin aja aku ke Army. Sama aja kan?”
“Nggak!”
“Kenapa,
Ma? Sekalian aku kuliah disana! Aku juga ngga
bakal ngrepotin Mama, kan? Ada Army, Ma!”
Mama
diam dan meninggalkanku sendiri tanpa jawaban. Membual. Sepertinya.
Bicara soal Army, aku jadi lupa jika dia sudah
tak disisku lagi. Pasti ini karena aku terlalu serius memikirkan cara untuk
mengusir Mama dari rumah ini. Sungguh keterlaluan. Mengapa aku melupakannya
secepat ini? Atau? Waktu memang cepat berlalu tanpa ku sadari.
Setelah
menghabiskan sarapanku, aku langsung kembali menuju kamar dan mulai menuliskan
keluh kesahku dalam surat elektronik itu.
“Good Day, my sweety boy Army,
Tiga
hari berlalu tanpamu. Apa kabar, boy? Bagaimana Amerika? Bahagiakah kamu? Ya,
kurasa. Sekarang ini hanya kebahagiaan yang menyelimutimu. Oh ya, sebaris atau
dua baris e-mail belum kuterima darimu. Apakah kau sangat sibuk? Kurasa. Apa
kau hanya menunggu e-mailku saja? Baiklah. Jadi, apa kau berminat menceritakan
sedikit tentang ibu kandungmu? Aku sangat penasaran. Seperti apakah sosok ibu
yang telah melahirkanmu itu. Balas secepatnya ya, my lovely boy Army.
Sangat
tak terduga, Mamaku kembali ke rumah sekembalinya aku dari bandara untuk melepasmu.
Entah apa yang terjadi, kurasa ia enggan kembali ke tempat persembuanyiannya.
Selama ia serumah denganku, baik aku, Mama dan kak Thomas sangat menjaga
obrolan. Bahkan bisa dikatakan hanya sesekali kami bicara. Bencana. Aku merasa
masih tak menginginkan kehadirannya. Oh ya, andaikata kau ada di Jakarta saat
ini, aku harap kau akan memberiku beberapa hari untuk menumpang di rumahmu. Ah!
Maksudku rumah bibi Stefy.
Oh
my boy Army, beberapa menit yang lalu mungkin Mama sedikit memikirkan keberadaanku.
Ia sempat berpkir akan mengirimku ke Amerika. Haha. Kemungkinan besar ia hanya
membual untuk membesarkan hatiku. Aku tak peduli.” Masih ingin melanjutkan
menulis namum Mama sudah memanggilku berulang kali. Akhirnya, aku lebih memilih
mengabaikan Mama. “kurasa
Mama sudah mulai membutuhkanku. Balas e-mailku Army, dan aku akan mengirimu
cerita-cerita selanjutnya. Jika tidak, aku tak akan mengirimimu e-mail lagi.
Haha. Aku bergurau. Jangan khawatir. Entah kau membalas maupun tidak, tetap
saja aku akan mengirimimu e-mail.
Regards
Dira
Vaserman”
Setelah
selesai menulis dan membaca ulang e-mail
itu, aku meng-klik tombol send yang
berada di pojok kanan bawah. Balas e-mailku,
Army.
Brak!
Mama membuka pintu kamarku dan masuk tanpa permisi. Ini membuatku kesal.
“Dira!
Berapa kali mama panggil kamu! Kamu mulai tak acuh sama Mama, ya?” melihat aku
hanya diam di meja belajar dan fokus pada layar 14” laptop kebanggaanku, belajar
Mama mengahampiriku lebih dekat. “Dira! Kamu dengar Mama?” kali ini dengan nada
yang agak melunak.
“Ma,
please deh. Mama udah gede. Pasti Mama tau tata cara masuk kamar orang baik-baik.
Mama bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk dan aku akan bilang Mama boleh masuk
atau nggak. Ngerti, Ma?”
“Kok
kamu malah ngajarin Mama? Apa-apaan kamu Dir?”
Sejak
mama mulai kencan sama bekas pacarku. Aku menganggap Mama lebih kekanakan dari
pada aku. Tapi aku tak mengatakannya secara langsung. Aku lebih memilih diam.
Aku benci pertengakaran. “Ya udah, Mama maunya apa?” akhirnya aku bersua
setelah sekian detik bungkam. Aku juga melihat bahwa Mama sangat menunggu
respons dariku. Mama terlihat sedih. Kemudian ia duduk di tepi ranjangku.
Kulihat ia mulai menangis. Apa yang harus ku lakukan? Apa aku harus diam saja?
Apa aku harus menghampirinya kemudian menenangkannya? Apa? Apa? Apa? Dan
akhirnya, aku memutuskan untuk tidak melakukan apapun padanya, kecuali.. mengatakan
sesuatu.
“Mama
mau apa?”
“Kamu
berubah, Dira! Kakakmu juga!”
“Salah
siapa, Ma?”
“Ini
salah Mama dan Papa.”
“Baru
sadar?”
“Dira,
Mama mohon. Kamu jangan bersikap seperti itu pada Mama. Mama sayang sama kamu,
Nak! Ini semua karena Papa kamu. Coba saat itu ia tak berhianat, semua tak akan
menjadi seperti ini.”
Aku
diam. Diam seribu bahasa dan mulai memikirkan apa yang dikatakan Mama. Tapi?
Kok jadi Papa yang disalahkan? Ah sudahlah. Mungkin ini alibi Mama yang telah
sempat dekat sekali dengan bekas pacarku.
“Oke!
Aku terima semua omongan Mama. Dan, Mama boleh keluar sekarang. Dira mau
beresin kamar.”
“Ta..
ta.. tapi Mama belum selesai bicara.” sambil bangkit aku mengangkat lengan
Mama. Ini pengusiran!
Mama,
maafkan aku.
Dua
belas jam kemudian Army membalas e-mailku.
***
“Good
Evening, my honey bunny sweety, Dira!
Sayangku,
maaf aku sepertinya terlalu lambat membalas e-mailmu. Aku sangat baik sekali.
Amerika sangat riuh bagiku. Meski begitu, rasa asing menyelimutiku. Dan kau
bertanya, apakah aku bahagia? Ya, tentu. Aku bahagia karena bisa membalas e-mailmu.
Sungguh bahagia. Semoga itu jawaban yang kau harapkan.
Yah!
Kau tau, ibuku adalah keturunan Amerika-Indonesia. Sedangkan aku sendiri
keturunan campuran Amerika-Indonesia dan campuran Amerika-Jepang. Tak kusangka,
aku adalah keturunan darah campuran. Hah! Sejak kematian ayahku saat umurku
menginjak 8 bulan dalam kandungan, ibuku masih tetap sendiri. Bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kedatanganku mungkin akan sedikit
mengurangi bebannya. Aku akan membantunya semaksimal mungkin. Ibuku bermata
biru safir. Indah sekali. Rambutnya sebahu lurus dan kulitnya putih langsat. Ia
sangat cantik. Kau harus melihatnya. Ya, kurasa itu ceritaku tentang ibu
kandungku.
Well,
jadi Mrs. Vaserman sudah kembali dari persembunyiannya? Ini terlihat buruk.
Kau, Kakak dan Mamamu sangat sulit disatukan kembali. Lantas? Apa batang hidung
Papamu juga akan segera muncul? Kurasa. Aku meminta maaf tak berada disisimu
saat ini. Namun, kau tak usah khawatir. Jika kau ingin berlari dari kenyataan,
aku akan mengirimkan pesan pada Tante Stefy agar merawatmu sementara. My
darling, Dira! Bukankah kau akan menguatkan hatimu dengan menghadapi semua ini?
Bukankah kau juga mengatakan padaku, bahwa semua akan terkendali tanpaku? Ya,
kurasa kau akan mengendalikan semuanya. Termasuk perasaan dendam akan
perceraian yang tengah mengintai keluargamu. Honey, bicaralah! Aku yakin.
Keikhlasan, ketenangan batin dan jiwa itu akan kau dapatkan setelah kau
berbicara pada mereka. Kau akan mendapatkan jawaban dari mereka, bukan lagi
jawaban dari dirimu sendiri.
My
Princess Dira! Jika Mamamu berubah pikiran dan akan segera mengirimkanmu ke
Amerika, maka cepatlah beritahu aku. Tinggallah bersamaku. Ibuku tak akan
pernah keberatan kau tinggal bersama kami. Sahabatku, Mamamu berkata seperti
itu untuk menghiburmu. Setidaknya, berikan senyuman jika itu hanya bualannya. Aku
memercayaimu. Jangan lupakan, bahwa surga ada di bawah telapak kakinya. Kau
percaya surga? Ya! Tempat abadi yang tak akan membuatmu bertemu dengan
perceraian dan pertngkaran lagi.
Mungkin
hanya ini yang dapat ku sampaikan padamu. Beib, kuatkan dirimu. Tuhan sangat
mencintaimu. Sedetik kemudian kita tak akan tau apa yang akan terjadi. Jadi,
percayalah pada rencanyaNya yang indah.
Regards,
Army”
Oh my lucky boy, Army. Kau tak terlambat
membalas e-mailku. Aku yang terlambat
membacanya. Payah! Dua hari kemudian aku baru membaca e-mail balasan darimu. Army, mungkin hingga sekarang hatiku terlalu
keras. Bahkan kata-kata lembut dan nasihatmu masih belum mampu meruntuhkan
kerasnya hatiku. Kau benar. Aku yang menciptakan diriku menjadi seperti ini.
Egoisme dan kebencian terlalu kuat untuk dapat kuhancurkan. Namun, mungkin
dengan sikap baik Mama beberapa hari ini, aku sudah mulai melunak. Mama tak
lagi marah-marah, puntung rokok tak lagi ku temukan di kamarnya, dan minuman
yang memabukkan itu juga tak lagi kucium aromanya di rumahku ini. Kami
baik-baik saja meskipun sedikit bicara. Terima kasih telah membukakan mataku.
Aku tak akan melarikan diri. Apapun yang ada di hadapanku akan ku hadapi dengan
jantan, meski tanpamu disisku. Ah? Apa? Maksudku dengan betina. Hehe. Aku
perempuan jantan? What? Lupakan.
Berulang
membaca e-mailmu seharusnya membuatku
menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas e-mailmu dan menceritakan apa saja yang ku lakukan bersama Mama dua
hari ini. Ya! Meskipun hanya membersihkan rumah saja. Melelahkan. Tapi, itulah
cerita yang ingin ku ceritakan. Kebersamaanku dengan Mama dan kak Thomas. Tak
lengkap ya? Batang hidung Papa belum terlihat dan kurasa, dugaanmu akan segera
menjadi nyata.
“Dira!”
Mama mengelus pundakku. Seketika aku terperanjat. Kaget bukan kepalang. Dahulu,
Mama sering melakukannya jika aku terlalu konsel belajar dan mengbaikan
panggilannya.
“Mama?”
“Maaf
Mama tak meminta ijin memasuki kamarmu. Mama lihat kamu cuma bengong di depan
laptop. Ada apa, Nak?” Halusnya ucapan Mama. Mencurigakan. Oops!
“Mau
balas e-mail Army. Mama butuh apa
dari aku?”
“Oh!
Ya sudah. Kamu balas dulu e-mailnya.
Hari ini kita akan membersihkan ilalang yang ada di taman kita. Setuju?”
“Oke!”
jawabku singkat. Aku melihat punggung Mama yang berlalu. Mama terlihat sangat
lelah dengan semua ini. Tapi, bagaimanakah dengan Papa? Apa ia juga semalang
Mama? Entahlah. Kurasa, Mama selalu mencoba tegar dengan caranya. Yah! Besok Mama
akan menghadiri sidang perceraian. Lebih tepatnya sidang gono-gini. Perceraian
tak akan di putus sebelum harta itu jatuh ketangan mereka yang memenangkan
gugatan. Oh harta! Beruntungnya dikau diperebutkan orang tuaku. Ish!
Aku
memandang jauh pada taman yang dulunya asri, sebelum rumput-rumput liar itu
tumbuh dengan subur di tamanku. Aku sengaja memilih kamar tidur yang dekat
dengan taman agar aku bisa merasakan kedamaiannya dianatara kepenatanku. Namun
sekarang? Tidak lagi. Beberapa menit kemudian, aku melihat kak Thomas membawa
gunting taman. Kurasa, ia akan membereskan rumput-rumput liar itu. Tak lama
kemudian, juga kulihat Mama melambaikan tangan ke arahku. Ah! Itu isyarat agar
aku segera menyusul mereka. Segera kumatikan laptop dan dengan enggan aku
keluar kamar menyusul mereka.
“Ada
tugas buat Dira.” Dengan memasang wajah sok imutnya, Mama menyambutku.
“Hmm?
Apa?” kubalas sambutannya dengan dingin.
“Tuh,
rumputnya minta dipotong. Dira suka taman kita, kan?” sembari menyodorkan benda
sejenis belati‒pisau runcing, agak tebal, lebih banyak dipakai untuk menusuk
dan mengiris (biasa dipakai sebegai perlengkapan pramuka atau tentara)‒. Dan
kulihat itu sangat tajam. Cocok sekali untuk melukai seseorang jika ku mau.
Haha. Lupakan!
“Oh?
Jadi Dira jadi tukang kebun, nih? Pintar ya, Mama sekarang!” sambil menerima
benda tajam itu. Mama tertawa kecil dan kulihat ekor mata kak Thomas mengarah
padaku. Apa dia terkekeh dengan leluconku? Mungkin. Dan kulihat pula wajahnya
yang memerah. Entah karena marah padaku atas sikapku pada Mama, ataukah karena
menahan tawa atas leluconku? Hah! Aku tak peduli.
Lima
belas menit berjongkok ria memotong-motong rumput ini, aku mulai merasa lelah.
Kulihat pula wajah kelelahan itu ada pada kak Thomas dan Mamaku. Aku menyeka
keringat yang bercucuran deras di dahiku. Aku benci semua ini. Saat tengah beristirahat
sejenak, kulihat sebuah mobil keluaran terbaru berhenti di depanku. Cat
mobilnya masih mulus dan mengkilat. Sangat terlihat mewah. Mereknya pun aku
juga masih tak tahu. Kurasa, empunya adalah seorang yang berduit. Bila tidak,
mana mungkin mampu membeli mobil semewah itu.
Brak!
Sang pemilik terdengar menutup pintu mobilnya dan sekarang ia berjalan menuju
pagar rumah kami.
Krek!
Pagar terbuka dan.. sesosok lelaki jakun, gagah, dan tanpan tengan kaos putih
yang dibungkus dengan jaket kulit berwarna hitam. Ia terlihat sangat keren
namun sayu dimatanya dan ia pun terlihat menua. Lebih tua dari terakhir kali
kami bertemu. Oh! Kulihat mendung itu menutupi wajahnya yang sebenarnya
bijaksana. Siapa gerangan lelaki paruh baya itu? Papa? Apa? Papa? Mungkinkah
itu dia? Untuk apa kemari? Bukankah? Ah sudahlah. Kami bertiga menghentikan
segala aktivitas kami. Kulihat Mama mulai memasang wajah waspada. Kurasa ia
tahu apa yang diinginkan orang yang pernah menjadi lelakinya itu.
“Selamat
pagi menjelang siang, Mr. Vaserman.” Mama memberi salam pada lelaki itu.
Papaku.
“Yah,
kurasa kau nyaman dengan apa yang kau lakukan sekarang. Halo anak-anak, boleh
Papa meminjam Mama kalian?” memandang Mama dan kemudian ia memandangku dan kak
Thomas secara bergantian.
Hassh!
Apa-apaan ini?
“Bawa
saja, Pa. Dan segera tinggalkan kami.” Kali ini kak Thomas yang memegang
kendali. Dan aku hanya diam dengan wajah yang mulai memerah. Marah.
“Wah,
jagoan Papa sudah dewasa. Baik! Lily, bisa kita bicara sebentar? Ayo ikut
denganku.”
“Aku
tak mau ikut denganmu. Jika kau mengajakku bicara, maka katakan saja di depan
hakim apa yang kau mau.”
“Kau
menolakku?” Papa sangat tak suka jika apa yang ia inginkan di tolak
mentah-mentah. Ia akan sangat marah.
“Ya,
Tuan Pengusaha James Vaserman!”
“Ohoho..
Kurasa kau sudah mulai berani padaku, Lily! Jika kau menolakku kali ini,
sekarang juga kau akan menyesal.”
Mereka
saling berbantah dan kemudian api pertengkaran mulai terpecik. Aku dan kak
Thomas yang telah hafal betul dengan adegan ini mulai berjalan gontai
meninggalkan dua orang yang pernah saling mencintai ini saling silat lidah.
Sangat muak!
Meski
jarakku masih dekat dengan mereka, namun sepatah dua patah kata yang keluar
dari mulut mereka sama sekali tak dapat kudengar. Apa aku di tulikan olehNya?
Entahlah. Beberapa langkah berjalan membelakangi mereka, aku menoleh pada
mereka yang masih berhadapan dengan jarak sekitar 5 meter. Obrolan yang tak
menyenangkan. Kulihat mulai memanas dan Papa akhirnya mengeluarkan sebuah benda
dari dalam jaket kulit hitamnya. Ia mengarahkan benda itu tepat menuju jantung
Mama dengan tangan kanan Papa sendiri. Benda itu adalah pistol. Apa? Apa dia
telah kabur dari Rumah Sakit Jiwa? Apa Papa memang telah sangat gila setelah
menikah dengan sekretarisnya? Inikah cara Papa mengancam Mama? Aku tak tahu.
Namun, belati yang berada dalam genggamanku ini sangat ingin kutusukkan
padanya. Oh! Kegelapan dalam mataku. Kegelapan dalam mata Papaku. Hey!
Aku
berlari menuju Mama. Pun juga kak Thomas. Kami berempat menyadari apa yang akan
terjadi. Sebelum pelatuk itu di tarik Papa, aku sudah berada di sebelah Mama.
Target utama Papa adalah Mama. Aku dan kak Thomas yang sejajar dengan Mama pun
tak dihiraukannya. Mata tajamnya hanya mengarah pada Mama. Kulirik, kali ini Mama
tersenyum dan begitu santai. Ia terlihat sangat pasrah. Oh, bidadariku!
“Mama..”
aku memanggilanya dalam hati.
Daar!
Aku
menuju arah depan Mama, seperti tebeng yang siap melindunginya kapanpun, tepat sesaat
setelah tembakan itu dilayangkan. Kudengar kak Thomas dan Mama berteriak
bersamaan memanggil namaku. Teriakan terhisteris yang pernah kudengar. Ah! Aku
menyukainya. Aku sangat merasa di khawatirkan. Aku merindukan saat-saat seperti
ini. Aku tersenyum.
Jleb.
Kurasakan dada kiriku sakit sekali. Aku yang tadinya tegak memunggungi Mama,
kini mulai runtuh. Kupegangi dadaku yang bersimbah darah dengan tangan kananku
yang masih menggenggam belati. Kucoba membendung darah itu, namun ku tak bisa.
Apa timah panasnya sudah mengenai jantungku?
Aku
terkapar di pelukan Mama yang terduduk. Kulihat ia menangis sejadi-jadinya.
Hingga sekarang aku masih merasakan bahwa aku masih hidup. Ku alihkan
pandanganku pada kakakku yang melayangkan bogem panasnya pada mata kanan Papa.
Papa mengeram kesakitan. Bersimpuh memegangi matanya. Kemudian kak Thomas
menujuku dengan membawa pistol yang digunakan untuk.
“Kau
lebih gila dari Papa!”
Aku
hanya tersenyum saat ia menggendongku menuju mobil. Kulihat banyak orang mulai
berkerumun. Apa mereka mendengar letupan senjata Papa?
“Kakak.
Sampaikan bahwa aku mencintai Papa dan Mama. Jangan biarkan mereka berkelahi,
Kak. Aku juga menyayangimu. Dan katakan pada Army, bahwa aku tak lari dari
kenyataan. Hari ini aku telah membuktikannya. Katakan padanya bahwa dia adalah
hidupku. Dia sahabat terbaikku.” Panjang lebar kukatakan pada kakak yang
menggendongku berlari menuju mobil. Meski begitu, ia menyimakku dengan baik.
Mama tak henti memanggil namaku. Ia membukakan pintu mobil. Namun naas. Nafasku
telah terhenti. Digendongan kak Thomas yang menangis sesegukan. Memohonku untuk
terus bertahan.
Dan
hari itu berakhir dengan jeritan-jeritan iba.
***
“Kyaaaaaaaaaa!!!”
aku berteriak sekencang-kencangnya. Mataku terbelak. Keringat dingin yang
sebesar biji jangung jatuh membasahi wajahku. Seluruh tubuhku. Basah sekujur
tubuhku. Aku terduduk lemas di meja belajar dengan seragam putih abu yang masih
ku kenakan.
Brak! Mama
membanting pintu.
“Dira
kamu kenapa? Ada apa?” Mama berlari menujuku yang gemetar dan pucat. Keringat dingin
masih mengalir. Dia memelukku.
“Dira!”
Papa juga datang dengan kemeja putih yang belum seluruhnya di kancingnya. Ia
terlihat kebingungan dan bertanya-tanya melihat keadaanku yang mengerikan. Ia
agak menjaga jarak dari Mama.
“Dira,
kenapa kamu tidur lagi? Bukannya kamu harus sarapan? Tuh, seragam kamu basah
semua. Kamu kenapa?” Mama memaksa aku menjawabnya.
Apa?
Aku tertidur? Aku mencoba mengingat mengapa aku menjadi seperti ini. Ya! Aku
baru ingat. Setelah berseragam aku duduk di meja belajar untuk memasukkan alat
tulis kedalam tasku. Kemudian aku menguap menahan kantuk akibat belajar dengan
sistem kebut semalam. Aku melipat tanganku dan meletakkan dengan halus kepalaku
di atasnya. Mataku terpejam. Dan.. mimpi buruk itu medatangiku. Aku mati di
tangan Papa.
“Tidaaaakkk!”
aku memegangi kedua tanganku dan menggeleng-gelengkannya. Aku mengingat mimpi
yang mengerikan itu. Papa dan Mama tak mampu berbuat apapun. Mereka hanya terdiam
menyaksikan anaknya yang menjadi aneh menjelang hari Ujian Nasional terakhirnya.
“Dir,
Army jemput kamu tuh. Buruan tur.. what?
Elu kenapa, Dir?” kak Thomas yang baru saja berdiri di depan pintu terkaget
melihat air muka semua orang yang berada di kamar. Mendengarnya aku buru-buru
bangkit.
“Mama,
Papa. Dira berangkat dulu. Nanti Dira sarapan di kantin. Inikan hari terkahir
UNAS. Ngga enak kalo Dira telat.” Aku
menciun tangan kedua orang tuaku bergantian. Aku mengubah ekspresi wajahku
menjadi ceria. Secepat ini. Kupeluk kakakku dan aku meninggalkan mereka yang
masih shock dengan apa yang baru saja
mereka lihat.
“Lama
banget, Dir?” sapaan yang lembut. Aku menarik tangan Army yang sudah menunggu
di beranda rumah menuju mobilnya yang terparkir di luar pagar.
Army
mengemudikan mobil dengan santai. Kemudian aku menceritakan mimpi yang baru
saja ku alami. Mimpi di pagi bolong. Eh! Mimpi di pagi buta. Ah! Mimpiku saat aku
tertidur di meja belajar pagi ini.
Aku bercerita
dimulai dari perselingkuhan Papa dengan sekretarisnya, kefrustrasian Mama yang
dilampiaskan dengan merokok dan menenggak minuman memabukkan, kisah cinta Mama
dengan bekas pacarku, sikap kak Thomas yang tak sehangat dulu, perceraian orang
tuaku yang tak kunjung usai, perpisahanku dengan Army, hingga kematianku yang
tragis di tangan Papaku sendiri. Dan ketika ceritaku berakhir, kami sudah
berada di halaman sekolah. Mobil Army juga sudah terparkir. Kami terdiam.
“Dira
sayang, kamu yakin, dengan guncangan sekeras ini kamu mampu mengerjakan soal
UNAS?” Army tak menanggapi ceritaku.
“Aku
yakin bisa. Habis UNAS, aku mau mengistirahatkan jiwa ragaku, may lovely boy
Army. Jangan khawatir, baby. Toh, ini
juga hari terakhir.” Aku mengelus lengannya. Membuatnya teryakinkan. Kemudian
ia memlukku.
“Dira,
jika semua itu terjadi, jangan katakan itu de
javu. Itu hanya mimpi pagimu dan jangan risau akan hal itu. Keluargamu akan
baik-baik saja. Meski pun akhir-akhir ini tengah beredar gosip kedekatan antara
Papamu dan sekretarisnya serta pertengkaran orang tuamu yang semakin sering kau
dengar.”
“Terima
kasih, Army.” Dan pelukan kami berakhir.
Tet..
Teet..
Bel
berbunyi. Sial! Kami masih di dalam mobil. Dengan tergesa kami keluar. Diraaa, please! Ini hari terakhir UNAS! Army
menyeretku. Memaksaku mengikuti tempo larinya. Menyebrangi lapangan basket yang
dekat dengan tempat parkir menuju deretan kelas. Semoga kami tak terlambat
masuk ke dalam kelas. Masa SMA akan segera usai.
Di
tengah lapangan, aku melepaskan diri dari Army. Berhenti mengikuti langkahnya.
Ku biarkan ia berlari sendiri. Agak jauh. Hingga ia menyadari keberadaanku dan
ikut berhenti. Aku terdiam dengan kepala yang kudongakkan. Kulihat birunya
langit dengan hiasan awan tipis tepat berada di atas kepalaku. Damai. Masih
terngiang akan pertengkaran hebat antara Mama dan Papa yang tak sengaja ku
dengar semalam dan akhir-akhir malam yang lalu. Riak-riak yang akhir-akhir ini
muncul, kini mulai membesar. Dan tentang mimpi itu.. Aku akan memikirkannya di
lain waktu.
“Dira..”
Army menghampiriku dan menarik pergelangan tangan kananku dengan lembut.
Menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. Kemudian menyelipkan jemari tangan
kirinya diantara jemari tangan kananku.
“Woy
kalian!” terdengar teriakan kepala sekolah yang terarah pada kami. Beliau
terdengar sangat marah.
Army
tersenyum. Pun juga aku. Kami tersenyum. Dan kami berlari tanpa melepaskan
genggaman tangan kami.
Tuhan.. Kurasa mimpi itu akan menjadi nyata. Meski tak
seperti itu alurnya. Kehancuran. Papa.. Mama.. Kak Thomas.. Keluarga kecilku.. dan
engkau sahabatku, Army.. Apakah aku bisa menghadapi kenyataan dalam ilusiku?(Ze*)