Assalamu'alaikum :)

Senin, 21 Juli 2014

JULI 2014



Purnama ke-24 ini Menyayat Hati Gadis Belia yang Masih Saja Terjebak dalam Ingatan Masa Lalunya

Pasuruan, 13 Juli 2014 20:23PM

Malam ini, tepat di Purnama ke-24 dimana aku kembali terhenyak akan ingatanku terhadapmu. Ingatan terburuk sepanjang perjalanan cinta remajaku. Aku kehilanganmu. Dirimu. Cintamu. Kasihmu. Sungguh, betapa aku menangisi kepergianmu malam itu. Bukan apa-apa. Aku hanya seorang gadis belia yang begitu kaku. Baru saja mengenal rasa yang menggelora. Rasa yang tak pernah terasakan ketika aku tengah bersama lelaki lain. Rasa itu ialah cinta. Rasa kasih. Rasa memiliki. Rasa puas. Rasa bahagia yang membuncah. Rasa yang sangat indah ketika semua kulalui bersamamu. Bersamamu. Hanya denganmu. Ketika kenyataan menyatakan bahwa aku harus kehilanganmu, dirimu, cintamu, kasihmu, sama sekali aku tak kuasa, tak mampu, tak sanggup, tak dapat, tak bisa menerima itu. Sungguh, betapa aku menangisi kepergianmu malam itu.

Tak terasa, tepat 2 tahun berlalu. Namun, tiap kali Purnama datang menyapa, aku masih sering kali mengharapkan kekembalianmu. Dirimu yang hilang. Cintamu yang hilang. Kasihmu yang hilang. Sesekali, aku menitipkan pesan pada angin. Angin yang selalu pergi kemanapun ia suka. Angin yang kuyakini akan menyampaikan pesanku padamu tiap kali ia bertemu denganmu. Terlebih jika pesan itu tersampaikan tepat saat Purnama datang dan aku tengah merutuki perpisahanku denganmu.

“Aku, orang yang hingga sekarang masih mencintaimu, masih menunggumu di bawah pendaran Purnama. Dan aku mengharapkan kita akan bertemu lagi. Seperti dulu. Aku, orang yang hingga saat ini masih mencintaimu, masih mengharapmu untuk kembali mencintaiku. Dan kita, ya, aku dan kamu, akan kembali saling mencintai. Seperti dulu.”

Begitulah aku memaknai Purnama ke-24 ini. Begitu banyak kenangan mesra tentang kita. Dulu. Namun, luka ini masih ternganga. Masih basah. Terasa sakit. Sakit sekali. Semanis-manisnya kenangan itu, kenangan terpahit akan kepergianmu itu mampu menyembunyikan segala rasa manisnya. Hanya tersembunyi. Aku membencimu? Membenci perpisahan kita? Terkadang? Yah, meski begitu, aku pun tak dapat membohongi pesaanku sendiri. Aku masih menantimu. Aku masih mencintaimu. Aku masih berharap akan kekembalianmu. Aku hanya seorang gadis belia yang begitu kaku. Gadis yang terjebak dalam kenangan masa lalu. (Ze*)

ILUSI



Ilusi
            ...
“Jangan lupa mengirimkan e-mail. Ceritakan apa pun yang sedang kau alami dan kau rasakan. Jika sempat aku akan membalas secepat mungkin.”
            “Aku tak akan lupa. Kenapa kau harus pergi?”
            “Ini yang terbaik.”
            “Untukmu. Tapi tidak untukku.”
            “Kau bercanda? Ini yang terbaik untuk orang tuaku. Oh ayolah, Dir. Kita akan tetap bersahabat. Aku janji. Jangan kekanakan. Ayolah, Dir!”
            “Baiklah. Aku mengerti. Pasti mereka merindukan anaknya yang telah lama hilang. Haha. Demimu aku akan menantikan kepulanganmu. Kapan pun.”
            “Manis sekali.”
            Ah, Army. Kau adalah orang ketiga yang pergi meninggalkanku. Cepat sekali. Orang pertama yang pergi dari hidupku adalah Papaku. Pria yang telah 18 tahum menjadi orang tuaku dan tega meninggalkan Mamaku dengan memilih menikahi sekretaris pribadinya. Yah! Aku tau, perempuan itu hanya mengincar harta Papaku. Aku yakin. Jelas saja, Papaku adalah pemimpin sebuah perusahaan eksportir minyak terbesar se-Indonesia. Perempuan mana yang tak tertarik padanya, hartanya, kekayaannya? Sayangnya, Papa tak setia. Tergoda. Ah, Papa! Apa? Oops, apa kau masih Papaku? Menafkahi atau memberi kasih sayang pun sudah tak pernah. Bertemu? Apa lagi. Tak pernah. Atau? Aku sudah bukan anaknya lagi? Entahlah. Aku tak peduli.
Kedua, aku kehilangan jejak seseorang telah kusinggahi rahimnya. Yah! Mamaku. Ibu tercantik yang pernah ku miliki. Dalam hidupku, ia adalah bidadari yang selalu hadir dalam nyata maupun maya. Namun, paradigma itu seketika berubah setelah Papaku lebih memilih serumah dengan perempuan lain. Mama menjadi jarang pulang. Tiap pulang pun ia selalu marah-marah. Tak jarang aku menemukan berpuntung-puntung rokok hasil hisapannya berserakan di bawah meja riasnya. Begitupun botol-botol kosong minuman yang memabukkan sering tergeletak di meja makan. Yah! Mama yang meninggalkan botol-botol itu. Neraka! Kini jejaknya hampir tak tampak. Ia hanya muncul dalam sidang perceraiannya. Pun ia tak pulang ke rumah. Dan yang paling mencengangkan adalah aku pernah melihat Mamaku, ibuku sendiri menggandeng mesra lengan bekas pacarku di sebuah tempat perbelanjaan. Astaga! Pemandangan ganjil yang membuatku serasa ingin memuntahkan segala isi perutku. Perceraian membuat Mamaku seakan-akan sudah gila. Gila.
Terakhir, aku akan segera kehilangan seorang yang bisa menjelma sebagai teman, sahabat, kakak, musuh, bahkan menjadi seorang orang tua bagiku. Ah, Army. Berapa lama kau akan membuatku seperti ini. Hariku adalah harimu. Kaulah satu-satunya sahabat dalam hidupku yang tak pernah lekang oleh apapun. Suka dan dukaku, kau selalu ada. Kini, kau akan menghabiskan waktumu di negara asalmu guna menemani ibumu. Orang tua kandungmu. Ya! Delapan belas tahun mengenalmu dan kau masih berada di posisi pertama dalam daftar pertemananku. Haha. Istimewa sekali.
“Jangan melamun lagi.” Seketika lamunanku buyar. Suara itu terdengar jelas. Suara Army. Ya, itu suara dia. Ah, apa aku mengabaikannya begitu lama? Aku melamun, ya? Maaf. “Aku akan segera terbang. Dengar, Dir! Aku tahu kau akan mengangkat beban ini sendiri. Tapi selalu berkeyakinanlah bahwa kau adalah ciptaanNya yang berjiwa kuat. Tuhan tak akan memberimu beban melebihi kesanggupanmu menopangnya. Dir, jaga diri.” Kemudian ia mendaratkan tubuhnya. Pelukan ini. Hangat sekali. Kehangatan ini seperti ketika ulang tahunku yang ke tujuh belas, dimana Papa dan Mama kompak memelukku erat seraya mengucapkan selamat. Apa? Lupakan!
“Kau tak usah mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja. Semuanya akan aman terkendali. Meski tanpamu.” Aku berusaha menutupi kesedihanku dengan menampakkan air muka kecerian sembari berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Namun, apa daya. Aku tak mampu. Syukurlah.
“Kau terlihat kuat.” Singkat, tapi bermakna. Entah makna apa.
“Terima kasih. Kau akan tetap hidup dalam hatiku, sahabatku.” Telah lama kami saling berpelukan, kemudian terdengar Tante Stefy‒Mamanya Army‒memanggil-manggil anak angkatnya dari kejauhan. Kami saling melepaskan diri. Untuk yang terakhir kalinya aku menatap lekat-lekat rambutnya, matanya, hidungnya, dan simpul senyum di bibir merahnya yang tipis. Wajah Army. Ah, sahabatku. Aku akan merindukanmu. Selamat jalan.
Aku berdiri tegak memandangi punggunya yang kemudian menjadi samar. Bandara ini ramai. Penuh sesak. Kulihat tubuh Army perlahan menghilang di telan lalu lalang orang-orang dalam bandara ini. Aku termangu.
***
“Stop, Pak!” aku memberhentikan taksi yang telah mengantarku menuju alamat tujuan. “Berapa, Pak?”
“Empat puluh delapan ribu, Non.” Aku mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dompetku. Ah! Mahal sekali. Seandainya aku masih menggunakan mobilku sendiri. Pasti tak akan seboros ini.
“Makasih, Pak. Kembaliannya ambil aja.” Brak! Aku menutup pintu taksi yang berhenti di depan rumah bernomor 10 itu.
Aku melangkah perlahan sembari memerhatikan rumah berlantai 2 yang terlihat sedih itu. Pagar tinggi bercat hitam itu, kini mulai berkarat. Beberapa tanaman menjalar tampak tumbuh subur melilit di pagar itu. Halaman yang dulunya adalah taman depan rumah itu kini tak terawat. Rumput-rumput liar tumbuh dengan liarnya. Tak pernah terpotong. Tak tersentuh. Kulihat pula cat rumah bewarna hijau muda itu mulai pudar. “Iww.. Kotor sekali.” Batinku.
Aku membuka pagar reot rumah itu. Krek! Rupanya karat benar-benar menguasai pagar itu. Ah! aku tak peduli. Dengan enggan kakiku telah menginjakkan halaman depan rumah itu. Tak kusangka mobil Honda Brio merah keluaran 2013 terpampang nyata terparkir di depan garasi rumah itu. Ish! Aku baru ingat itu adalah mobil Mama. Mamaku? Kenapa dia ada disini? Apa? Aku dimana? Rumah? Ah ya! Inilah rumahku. Rumah paling dekil yang berada di antara rumah-rumah mewah di perumahan elite ini. Maklum saja. Semenjak gugatan perceraian itu, para pembantu, tukang kebun maupun supir pribadi, semua di diberhentikan paksa. Alhasil, ya seperti ini keadaan rumahku. Aku sama sekali tak pernah berkeinginan merawat rumah ini. Apalagi kakakku, Thomas. Mana peduli ia! Mengetahui Mama di rumah aku bergegas memasuki rumah.
“Dari mana, Dir?”
“Apa paduli Mama?”
“Mama tanya baik-baik kamu kok jawab gitu?”
“Apa parlu lagi Mama mengurusi urusanku?”
“Dira!”
Aku berjalan santai menuju kamar. Meninggalkan Mama yang ternganga akan sikapku. Brak! Ku banting pintu kamar dan aku meringkuk di sudut kamar. Ada apa denganku? Aku membentak Mamaku sendiri. Bukankah ia adalah ibuku sendiri yang mengandung dan membesarkanku? Apakah ini caraku mengatakan bahwa aku sangat merindukannya? Atau? Ini adalah bentuk kekecewaanku terhadapnya? Aku..
***
Tiga hari sudah Mama berada di rumah. Kebetulan juga sekolahku libur karena aku hanya menunggu pengumuman kelulusan. Sayang sekali. Army sudah pindah. Seandainya ia masih ada, pastilah aku tak akan menghuni rumah ini. Aku akan menginap di rumahnya sampai aku mengetahui bahwa Mama benar-benar tak sedang berada di rumah. Aku muak!
“Army kemana? Kok Mama ngga liat dia main ke rumah?” suara itu mengagetkanku yang sedang memuangkan sereal di mangkuk yang berisi susu putih kesukaanku. Tunggu? Mama bertanya? Yah, jika ku tanggapi ini adalah obrolah pertama kami setelah bentakanku padanya.
“Dia ke Amrik‒Amerika‒“
“Ngapain?”
“Ketemu mama kandungnya!”
“Oh! Seandainya kamu punya saudara disana, Mama akan kirim kamu kesana.”
Double what what? Mama? Aku? Ke Amrik? Keren!
“Yaudah, Mama titipin aja aku ke Army. Sama aja kan?”
Nggak!”
“Kenapa, Ma? Sekalian aku kuliah disana! Aku juga ngga bakal ngrepotin Mama, kan? Ada Army, Ma!”
Mama diam dan meninggalkanku sendiri tanpa jawaban. Membual. Sepertinya.
 Bicara soal Army, aku jadi lupa jika dia sudah tak disisku lagi. Pasti ini karena aku terlalu serius memikirkan cara untuk mengusir Mama dari rumah ini. Sungguh keterlaluan. Mengapa aku melupakannya secepat ini? Atau? Waktu memang cepat berlalu tanpa ku sadari.
Setelah menghabiskan sarapanku, aku langsung kembali menuju kamar dan mulai menuliskan keluh kesahku dalam surat elektronik itu.
Good Day, my sweety boy Army,
Tiga hari berlalu tanpamu. Apa kabar, boy? Bagaimana Amerika? Bahagiakah kamu? Ya, kurasa. Sekarang ini hanya kebahagiaan yang menyelimutimu. Oh ya, sebaris atau dua baris e-mail belum kuterima darimu. Apakah kau sangat sibuk? Kurasa. Apa kau hanya menunggu e-mailku saja? Baiklah. Jadi, apa kau berminat menceritakan sedikit tentang ibu kandungmu? Aku sangat penasaran. Seperti apakah sosok ibu yang telah melahirkanmu itu. Balas secepatnya ya, my lovely boy Army.
Sangat tak terduga, Mamaku kembali ke rumah sekembalinya aku dari bandara untuk melepasmu. Entah apa yang terjadi, kurasa ia enggan kembali ke tempat persembuanyiannya. Selama ia serumah denganku, baik aku, Mama dan kak Thomas sangat menjaga obrolan. Bahkan bisa dikatakan hanya sesekali kami bicara. Bencana. Aku merasa masih tak menginginkan kehadirannya. Oh ya, andaikata kau ada di Jakarta saat ini, aku harap kau akan memberiku beberapa hari untuk menumpang di rumahmu. Ah! Maksudku rumah bibi Stefy.
Oh my boy Army, beberapa menit yang lalu mungkin Mama sedikit memikirkan keberadaanku. Ia sempat berpkir akan mengirimku ke Amerika. Haha. Kemungkinan besar ia hanya membual untuk membesarkan hatiku. Aku tak peduli.” Masih ingin melanjutkan menulis namum Mama sudah memanggilku berulang kali. Akhirnya, aku lebih memilih mengabaikan Mama. “kurasa Mama sudah mulai membutuhkanku. Balas e-mailku Army, dan aku akan mengirimu cerita-cerita selanjutnya. Jika tidak, aku tak akan mengirimimu e-mail lagi. Haha. Aku bergurau. Jangan khawatir. Entah kau membalas maupun tidak, tetap saja aku akan mengirimimu e-mail.

Regards
Dira Vaserman
Setelah selesai menulis dan membaca ulang e-mail itu, aku meng-klik tombol send yang berada di pojok kanan bawah. Balas e-mailku, Army.
Brak! Mama membuka pintu kamarku dan masuk tanpa permisi. Ini membuatku kesal.
“Dira! Berapa kali mama panggil kamu! Kamu mulai tak acuh sama Mama, ya?” melihat aku hanya diam di meja belajar dan fokus pada layar 14” laptop kebanggaanku, belajar Mama mengahampiriku lebih dekat. “Dira! Kamu dengar Mama?” kali ini dengan nada yang agak melunak.
“Ma, please deh. Mama udah gede. Pasti Mama tau tata cara masuk kamar orang baik-baik. Mama bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk dan aku akan bilang Mama boleh masuk atau nggak. Ngerti, Ma?”
“Kok kamu malah ngajarin Mama? Apa-apaan kamu Dir?”
Sejak mama mulai kencan sama bekas pacarku. Aku menganggap Mama lebih kekanakan dari pada aku. Tapi aku tak mengatakannya secara langsung. Aku lebih memilih diam. Aku benci pertengakaran. “Ya udah, Mama maunya apa?” akhirnya aku bersua setelah sekian detik bungkam. Aku juga melihat bahwa Mama sangat menunggu respons dariku. Mama terlihat sedih. Kemudian ia duduk di tepi ranjangku. Kulihat ia mulai menangis. Apa yang harus ku lakukan? Apa aku harus diam saja? Apa aku harus menghampirinya kemudian menenangkannya? Apa? Apa? Apa? Dan akhirnya, aku memutuskan untuk tidak melakukan apapun padanya, kecuali.. mengatakan sesuatu.
“Mama mau apa?”
“Kamu berubah, Dira! Kakakmu juga!”
“Salah siapa, Ma?”
“Ini salah Mama dan Papa.”
“Baru sadar?”
“Dira, Mama mohon. Kamu jangan bersikap seperti itu pada Mama. Mama sayang sama kamu, Nak! Ini semua karena Papa kamu. Coba saat itu ia tak berhianat, semua tak akan menjadi seperti ini.”
Aku diam. Diam seribu bahasa dan mulai memikirkan apa yang dikatakan Mama. Tapi? Kok jadi Papa yang disalahkan? Ah sudahlah. Mungkin ini alibi Mama yang telah sempat dekat sekali dengan bekas pacarku.
“Oke! Aku terima semua omongan Mama. Dan, Mama boleh keluar sekarang. Dira mau beresin kamar.”
“Ta.. ta.. tapi Mama belum selesai bicara.” sambil bangkit aku mengangkat lengan Mama. Ini pengusiran!
Mama, maafkan aku.
Dua belas jam kemudian Army membalas e-mailku.
***
 Good Evening, my honey bunny sweety, Dira!
Sayangku, maaf aku sepertinya terlalu lambat membalas e-mailmu. Aku sangat baik sekali. Amerika sangat riuh bagiku. Meski begitu, rasa asing menyelimutiku. Dan kau bertanya, apakah aku bahagia? Ya, tentu. Aku bahagia karena bisa membalas e-mailmu. Sungguh bahagia. Semoga itu jawaban yang kau harapkan.
Yah! Kau tau, ibuku adalah keturunan Amerika-Indonesia. Sedangkan aku sendiri keturunan campuran Amerika-Indonesia dan campuran Amerika-Jepang. Tak kusangka, aku adalah keturunan darah campuran. Hah! Sejak kematian ayahku saat umurku menginjak 8 bulan dalam kandungan, ibuku masih tetap sendiri. Bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Kedatanganku mungkin akan sedikit mengurangi bebannya. Aku akan membantunya semaksimal mungkin. Ibuku bermata biru safir. Indah sekali. Rambutnya sebahu lurus dan kulitnya putih langsat. Ia sangat cantik. Kau harus melihatnya. Ya, kurasa itu ceritaku tentang ibu kandungku.
Well, jadi Mrs. Vaserman sudah kembali dari persembunyiannya? Ini terlihat buruk. Kau, Kakak dan Mamamu sangat sulit disatukan kembali. Lantas? Apa batang hidung Papamu juga akan segera muncul? Kurasa. Aku meminta maaf tak berada disisimu saat ini. Namun, kau tak usah khawatir. Jika kau ingin berlari dari kenyataan, aku akan mengirimkan pesan pada Tante Stefy agar merawatmu sementara. My darling, Dira! Bukankah kau akan menguatkan hatimu dengan menghadapi semua ini? Bukankah kau juga mengatakan padaku, bahwa semua akan terkendali tanpaku? Ya, kurasa kau akan mengendalikan semuanya. Termasuk perasaan dendam akan perceraian yang tengah mengintai keluargamu. Honey, bicaralah! Aku yakin. Keikhlasan, ketenangan batin dan jiwa itu akan kau dapatkan setelah kau berbicara pada mereka. Kau akan mendapatkan jawaban dari mereka, bukan lagi jawaban dari dirimu sendiri.
My Princess Dira! Jika Mamamu berubah pikiran dan akan segera mengirimkanmu ke Amerika, maka cepatlah beritahu aku. Tinggallah bersamaku. Ibuku tak akan pernah keberatan kau tinggal bersama kami. Sahabatku, Mamamu berkata seperti itu untuk menghiburmu. Setidaknya, berikan senyuman jika itu hanya bualannya. Aku memercayaimu. Jangan lupakan, bahwa surga ada di bawah telapak kakinya. Kau percaya surga? Ya! Tempat abadi yang tak akan membuatmu bertemu dengan perceraian dan pertngkaran lagi.
Mungkin hanya ini yang dapat ku sampaikan padamu. Beib, kuatkan dirimu. Tuhan sangat mencintaimu. Sedetik kemudian kita tak akan tau apa yang akan terjadi. Jadi, percayalah pada rencanyaNya yang indah.

Regards,
Army
Oh my lucky boy, Army. Kau tak terlambat membalas e-mailku. Aku yang terlambat membacanya. Payah! Dua hari kemudian aku baru membaca e-mail balasan darimu. Army, mungkin hingga sekarang hatiku terlalu keras. Bahkan kata-kata lembut dan nasihatmu masih belum mampu meruntuhkan kerasnya hatiku. Kau benar. Aku yang menciptakan diriku menjadi seperti ini. Egoisme dan kebencian terlalu kuat untuk dapat kuhancurkan. Namun, mungkin dengan sikap baik Mama beberapa hari ini, aku sudah mulai melunak. Mama tak lagi marah-marah, puntung rokok tak lagi ku temukan di kamarnya, dan minuman yang memabukkan itu juga tak lagi kucium aromanya di rumahku ini. Kami baik-baik saja meskipun sedikit bicara. Terima kasih telah membukakan mataku. Aku tak akan melarikan diri. Apapun yang ada di hadapanku akan ku hadapi dengan jantan, meski tanpamu disisku. Ah? Apa? Maksudku dengan betina. Hehe. Aku perempuan jantan? What? Lupakan.
Berulang membaca e-mailmu seharusnya membuatku menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas e-mailmu dan menceritakan apa saja yang ku lakukan bersama Mama dua hari ini. Ya! Meskipun hanya membersihkan rumah saja. Melelahkan. Tapi, itulah cerita yang ingin ku ceritakan. Kebersamaanku dengan Mama dan kak Thomas. Tak lengkap ya? Batang hidung Papa belum terlihat dan kurasa, dugaanmu akan segera menjadi nyata.
“Dira!” Mama mengelus pundakku. Seketika aku terperanjat. Kaget bukan kepalang. Dahulu, Mama sering melakukannya jika aku terlalu konsel belajar dan mengbaikan panggilannya.
“Mama?”
“Maaf Mama tak meminta ijin memasuki kamarmu. Mama lihat kamu cuma bengong di depan laptop. Ada apa, Nak?” Halusnya ucapan Mama. Mencurigakan. Oops!
“Mau balas e-mail Army. Mama butuh apa dari aku?”
“Oh! Ya sudah. Kamu balas dulu e-mailnya. Hari ini kita akan membersihkan ilalang yang ada di taman kita. Setuju?”
“Oke!” jawabku singkat. Aku melihat punggung Mama yang berlalu. Mama terlihat sangat lelah dengan semua ini. Tapi, bagaimanakah dengan Papa? Apa ia juga semalang Mama? Entahlah. Kurasa, Mama selalu mencoba tegar dengan caranya. Yah! Besok Mama akan menghadiri sidang perceraian. Lebih tepatnya sidang gono-gini. Perceraian tak akan di putus sebelum harta itu jatuh ketangan mereka yang memenangkan gugatan. Oh harta! Beruntungnya dikau diperebutkan orang tuaku. Ish!
Aku memandang jauh pada taman yang dulunya asri, sebelum rumput-rumput liar itu tumbuh dengan subur di tamanku. Aku sengaja memilih kamar tidur yang dekat dengan taman agar aku bisa merasakan kedamaiannya dianatara kepenatanku. Namun sekarang? Tidak lagi. Beberapa menit kemudian, aku melihat kak Thomas membawa gunting taman. Kurasa, ia akan membereskan rumput-rumput liar itu. Tak lama kemudian, juga kulihat Mama melambaikan tangan ke arahku. Ah! Itu isyarat agar aku segera menyusul mereka. Segera kumatikan laptop dan dengan enggan aku keluar kamar menyusul mereka.
“Ada tugas buat Dira.” Dengan memasang wajah sok imutnya, Mama menyambutku.
“Hmm? Apa?” kubalas sambutannya dengan dingin.
“Tuh, rumputnya minta dipotong. Dira suka taman kita, kan?” sembari menyodorkan benda sejenis belati‒pisau runcing, agak tebal, lebih banyak dipakai untuk menusuk dan mengiris (biasa dipakai sebegai perlengkapan pramuka atau tentara)‒. Dan kulihat itu sangat tajam. Cocok sekali untuk melukai seseorang jika ku mau. Haha. Lupakan!
“Oh? Jadi Dira jadi tukang kebun, nih? Pintar ya, Mama sekarang!” sambil menerima benda tajam itu. Mama tertawa kecil dan kulihat ekor mata kak Thomas mengarah padaku. Apa dia terkekeh dengan leluconku? Mungkin. Dan kulihat pula wajahnya yang memerah. Entah karena marah padaku atas sikapku pada Mama, ataukah karena menahan tawa atas leluconku? Hah! Aku tak peduli.
Lima belas menit berjongkok ria memotong-motong rumput ini, aku mulai merasa lelah. Kulihat pula wajah kelelahan itu ada pada kak Thomas dan Mamaku. Aku menyeka keringat yang bercucuran deras di dahiku. Aku benci semua ini. Saat tengah beristirahat sejenak, kulihat sebuah mobil keluaran terbaru berhenti di depanku. Cat mobilnya masih mulus dan mengkilat. Sangat terlihat mewah. Mereknya pun aku juga masih tak tahu. Kurasa, empunya adalah seorang yang berduit. Bila tidak, mana mungkin mampu membeli mobil semewah itu.
Brak! Sang pemilik terdengar menutup pintu mobilnya dan sekarang ia berjalan menuju pagar rumah kami.
Krek! Pagar terbuka dan.. sesosok lelaki jakun, gagah, dan tanpan tengan kaos putih yang dibungkus dengan jaket kulit berwarna hitam. Ia terlihat sangat keren namun sayu dimatanya dan ia pun terlihat menua. Lebih tua dari terakhir kali kami bertemu. Oh! Kulihat mendung itu menutupi wajahnya yang sebenarnya bijaksana. Siapa gerangan lelaki paruh baya itu? Papa? Apa? Papa? Mungkinkah itu dia? Untuk apa kemari? Bukankah? Ah sudahlah. Kami bertiga menghentikan segala aktivitas kami. Kulihat Mama mulai memasang wajah waspada. Kurasa ia tahu apa yang diinginkan orang yang pernah menjadi lelakinya itu.
“Selamat pagi menjelang siang, Mr. Vaserman.” Mama memberi salam pada lelaki itu. Papaku.
“Yah, kurasa kau nyaman dengan apa yang kau lakukan sekarang. Halo anak-anak, boleh Papa meminjam Mama kalian?” memandang Mama dan kemudian ia memandangku dan kak Thomas secara bergantian.
Hassh! Apa-apaan ini?
“Bawa saja, Pa. Dan segera tinggalkan kami.” Kali ini kak Thomas yang memegang kendali. Dan aku hanya diam dengan wajah yang mulai memerah. Marah.
“Wah, jagoan Papa sudah dewasa. Baik! Lily, bisa kita bicara sebentar? Ayo ikut denganku.”
“Aku tak mau ikut denganmu. Jika kau mengajakku bicara, maka katakan saja di depan hakim apa yang kau mau.”
“Kau menolakku?” Papa sangat tak suka jika apa yang ia inginkan di tolak mentah-mentah. Ia akan sangat marah.
“Ya, Tuan Pengusaha James Vaserman!”
“Ohoho.. Kurasa kau sudah mulai berani padaku, Lily! Jika kau menolakku kali ini, sekarang juga kau akan menyesal.”
Mereka saling berbantah dan kemudian api pertengkaran mulai terpecik. Aku dan kak Thomas yang telah hafal betul dengan adegan ini mulai berjalan gontai meninggalkan dua orang yang pernah saling mencintai ini saling silat lidah. Sangat muak!
Meski jarakku masih dekat dengan mereka, namun sepatah dua patah kata yang keluar dari mulut mereka sama sekali tak dapat kudengar. Apa aku di tulikan olehNya? Entahlah. Beberapa langkah berjalan membelakangi mereka, aku menoleh pada mereka yang masih berhadapan dengan jarak sekitar 5 meter. Obrolan yang tak menyenangkan. Kulihat mulai memanas dan Papa akhirnya mengeluarkan sebuah benda dari dalam jaket kulit hitamnya. Ia mengarahkan benda itu tepat menuju jantung Mama dengan tangan kanan Papa sendiri. Benda itu adalah pistol. Apa? Apa dia telah kabur dari Rumah Sakit Jiwa? Apa Papa memang telah sangat gila setelah menikah dengan sekretarisnya? Inikah cara Papa mengancam Mama? Aku tak tahu. Namun, belati yang berada dalam genggamanku ini sangat ingin kutusukkan padanya. Oh! Kegelapan dalam mataku. Kegelapan dalam mata Papaku. Hey!
Aku berlari menuju Mama. Pun juga kak Thomas. Kami berempat menyadari apa yang akan terjadi. Sebelum pelatuk itu di tarik Papa, aku sudah berada di sebelah Mama. Target utama Papa adalah Mama. Aku dan kak Thomas yang sejajar dengan Mama pun tak dihiraukannya. Mata tajamnya hanya mengarah pada Mama. Kulirik, kali ini Mama tersenyum dan begitu santai. Ia terlihat sangat pasrah. Oh, bidadariku!
“Mama..” aku memanggilanya dalam hati.
Daar!
Aku menuju arah depan Mama, seperti tebeng yang siap melindunginya kapanpun, tepat sesaat setelah tembakan itu dilayangkan. Kudengar kak Thomas dan Mama berteriak bersamaan memanggil namaku. Teriakan terhisteris yang pernah kudengar. Ah! Aku menyukainya. Aku sangat merasa di khawatirkan. Aku merindukan saat-saat seperti ini. Aku tersenyum.
Jleb. Kurasakan dada kiriku sakit sekali. Aku yang tadinya tegak memunggungi Mama, kini mulai runtuh. Kupegangi dadaku yang bersimbah darah dengan tangan kananku yang masih menggenggam belati. Kucoba membendung darah itu, namun ku tak bisa. Apa timah panasnya sudah mengenai jantungku?
Aku terkapar di pelukan Mama yang terduduk. Kulihat ia menangis sejadi-jadinya. Hingga sekarang aku masih merasakan bahwa aku masih hidup. Ku alihkan pandanganku pada kakakku yang melayangkan bogem panasnya pada mata kanan Papa. Papa mengeram kesakitan. Bersimpuh memegangi matanya. Kemudian kak Thomas menujuku dengan membawa pistol yang digunakan untuk.
“Kau lebih gila dari Papa!”
Aku hanya tersenyum saat ia menggendongku menuju mobil. Kulihat banyak orang mulai berkerumun. Apa mereka mendengar letupan senjata Papa?
“Kakak. Sampaikan bahwa aku mencintai Papa dan Mama. Jangan biarkan mereka berkelahi, Kak. Aku juga menyayangimu. Dan katakan pada Army, bahwa aku tak lari dari kenyataan. Hari ini aku telah membuktikannya. Katakan padanya bahwa dia adalah hidupku. Dia sahabat terbaikku.” Panjang lebar kukatakan pada kakak yang menggendongku berlari menuju mobil. Meski begitu, ia menyimakku dengan baik. Mama tak henti memanggil namaku. Ia membukakan pintu mobil. Namun naas. Nafasku telah terhenti. Digendongan kak Thomas yang menangis sesegukan. Memohonku untuk terus bertahan.
Dan hari itu berakhir dengan jeritan-jeritan iba.
***
“Kyaaaaaaaaaa!!!” aku berteriak sekencang-kencangnya. Mataku terbelak. Keringat dingin yang sebesar biji jangung jatuh membasahi wajahku. Seluruh tubuhku. Basah sekujur tubuhku. Aku terduduk lemas di meja belajar dengan seragam putih abu yang masih ku kenakan.
Brak! Mama membanting pintu.
“Dira kamu kenapa? Ada apa?” Mama berlari menujuku yang gemetar dan pucat. Keringat dingin masih mengalir. Dia memelukku.
“Dira!” Papa juga datang dengan kemeja putih yang belum seluruhnya di kancingnya. Ia terlihat kebingungan dan bertanya-tanya melihat keadaanku yang mengerikan. Ia agak menjaga jarak dari Mama.
“Dira, kenapa kamu tidur lagi? Bukannya kamu harus sarapan? Tuh, seragam kamu basah semua. Kamu kenapa?” Mama memaksa aku menjawabnya.
Apa? Aku tertidur? Aku mencoba mengingat mengapa aku menjadi seperti ini. Ya! Aku baru ingat. Setelah berseragam aku duduk di meja belajar untuk memasukkan alat tulis kedalam tasku. Kemudian aku menguap menahan kantuk akibat belajar dengan sistem kebut semalam. Aku melipat tanganku dan meletakkan dengan halus kepalaku di atasnya. Mataku terpejam. Dan.. mimpi buruk itu medatangiku. Aku mati di tangan Papa.
“Tidaaaakkk!” aku memegangi kedua tanganku dan menggeleng-gelengkannya. Aku mengingat mimpi yang mengerikan itu. Papa dan Mama tak mampu berbuat apapun. Mereka hanya terdiam menyaksikan anaknya yang menjadi aneh menjelang hari Ujian Nasional terakhirnya.
“Dir, Army jemput kamu tuh. Buruan tur.. what? Elu kenapa, Dir?” kak Thomas yang baru saja berdiri di depan pintu terkaget melihat air muka semua orang yang berada di kamar. Mendengarnya aku buru-buru bangkit.
“Mama, Papa. Dira berangkat dulu. Nanti Dira sarapan di kantin. Inikan hari terkahir UNAS. Ngga enak kalo Dira telat.” Aku menciun tangan kedua orang tuaku bergantian. Aku mengubah ekspresi wajahku menjadi ceria. Secepat ini. Kupeluk kakakku dan aku meninggalkan mereka yang masih shock dengan apa yang baru saja mereka lihat.
“Lama banget, Dir?” sapaan yang lembut. Aku menarik tangan Army yang sudah menunggu di beranda rumah menuju mobilnya yang terparkir di luar pagar.
Army mengemudikan mobil dengan santai. Kemudian aku menceritakan mimpi yang baru saja ku alami. Mimpi di pagi bolong. Eh! Mimpi di pagi buta. Ah! Mimpiku saat aku tertidur di meja belajar pagi ini.
Aku bercerita dimulai dari perselingkuhan Papa dengan sekretarisnya, kefrustrasian Mama yang dilampiaskan dengan merokok dan menenggak minuman memabukkan, kisah cinta Mama dengan bekas pacarku, sikap kak Thomas yang tak sehangat dulu, perceraian orang tuaku yang tak kunjung usai, perpisahanku dengan Army, hingga kematianku yang tragis di tangan Papaku sendiri. Dan ketika ceritaku berakhir, kami sudah berada di halaman sekolah. Mobil Army juga sudah terparkir. Kami terdiam.
“Dira sayang, kamu yakin, dengan guncangan sekeras ini kamu mampu mengerjakan soal UNAS?” Army tak menanggapi ceritaku.
“Aku yakin bisa. Habis UNAS, aku mau mengistirahatkan jiwa ragaku, may lovely boy Army. Jangan khawatir, baby. Toh, ini juga hari terakhir.” Aku mengelus lengannya. Membuatnya teryakinkan. Kemudian ia memlukku.
“Dira, jika semua itu terjadi, jangan katakan itu de javu. Itu hanya mimpi pagimu dan jangan risau akan hal itu. Keluargamu akan baik-baik saja. Meski pun akhir-akhir ini tengah beredar gosip kedekatan antara Papamu dan sekretarisnya serta pertengkaran orang tuamu yang semakin sering kau dengar.”
“Terima kasih, Army.” Dan pelukan kami berakhir.
Tet.. Teet..
Bel berbunyi. Sial! Kami masih di dalam mobil. Dengan tergesa kami keluar. Diraaa, please! Ini hari terakhir UNAS! Army menyeretku. Memaksaku mengikuti tempo larinya. Menyebrangi lapangan basket yang dekat dengan tempat parkir menuju deretan kelas. Semoga kami tak terlambat masuk ke dalam kelas. Masa SMA akan segera usai.
Di tengah lapangan, aku melepaskan diri dari Army. Berhenti mengikuti langkahnya. Ku biarkan ia berlari sendiri. Agak jauh. Hingga ia menyadari keberadaanku dan ikut berhenti. Aku terdiam dengan kepala yang kudongakkan. Kulihat birunya langit dengan hiasan awan tipis tepat berada di atas kepalaku. Damai. Masih terngiang akan pertengkaran hebat antara Mama dan Papa yang tak sengaja ku dengar semalam dan akhir-akhir malam yang lalu. Riak-riak yang akhir-akhir ini muncul, kini mulai membesar. Dan tentang mimpi itu.. Aku akan memikirkannya di lain waktu.
“Dira..” Army menghampiriku dan menarik pergelangan tangan kananku dengan lembut. Menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. Kemudian menyelipkan jemari tangan kirinya diantara jemari tangan kananku.
“Woy kalian!” terdengar teriakan kepala sekolah yang terarah pada kami. Beliau terdengar sangat marah.
Army tersenyum. Pun juga aku. Kami tersenyum. Dan kami berlari tanpa melepaskan genggaman tangan kami.

Tuhan.. Kurasa mimpi itu akan menjadi nyata. Meski tak seperti itu alurnya. Kehancuran. Papa.. Mama.. Kak Thomas.. Keluarga kecilku.. dan engkau sahabatku, Army.. Apakah aku bisa menghadapi kenyataan dalam ilusiku?(Ze*)