KARAM
Bila
bahteramu karam, segeralah meminta kepadaNya untuk menepikanmu, mengembalikanmu
ke dermaga itu. Bukan menyumpahi atau mendo’ai. Tapi, aku tengah berada disana.
Kapanpun itu. Masih sedang menunggumu. Apapun yang terjadi. Di dermaga itu. Ya, dermaga yang sederhana
dan terlihat reyot namun masih tetap bisa berguna saat kau datang. Dermaga yang
telah kau tinggalkan saat pelayaran perdanamu denganya. Ya, dia. Wanita
pilihanmu yang kau rasa pantas menemanimu dalam suka maupun duka. Sama halnya
denganku yang selalu mencoba memantaskan diri agar terlihat pantas ketika
bersanding denganmu. Waktu itu. Waktu suka maupun duka. Waktu kau butuhkan
maupun kau buang. Ya, waktu itu.
Kau tau,
saat kau memutuskan berlayar dengannya dan sedang meninggalkan dermaga
bersamanya, di dermaga itu, aku mengharapkan kau akan berbalik arah. Kembali.
Sengaja. Aku yang tengah mengibaskan sapu tangan pemberianmu itu, melambai, berdiri
tegak. Namun segala harapan hidupku hilang. Kosong. Kau tak kembali. Hanya sapu
tangan. Sapu tangan yang kau gunakan untuk menyeka air mataku ketika kau dengan
lantang bersua bahwa kau lebih memilih wanita baru itu. Wanita yang baru saja
kau ajak berkenalan. Wanita yang dengan penuh yakin kau katakan bahwa dialah Cinderella yang meninggalkan sepatu
kacanya di istanamu. Dan sekarang kau telah menemukannya. Sungguh dan amat
gembira. Kau mengajaknya berlayar. Ah!
Hancur!
Seperti kau lihat. Seakan aku terkucil di hadapan dunia yang melahirkanku. Terlihat
semua sangat gelap di mataku. Baiklah. Pelitaku hilang. Dan aku hanya mampu
menunggumu di dermaga itu tanpa sanggup mengejarmu. Aku yakin. Kau akan
kembali. Bila bahteramu karam. (Ze*)
Pasuruan,
19 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat