Terheran
aku melihat rupa sang pengetuk rumahku,
sepersekian detik aku termangu mengingat-ingat dia. Rupanya dialah seseorang
dari masalaluku yang telah kubuang kisah percintaan itu dari ingatanku. Kulihat
wajahnya bersinar berhias senyuman termanis yang selalu ia berikan kepadaku
seperti biasanya. Disepersekian detik kedua, aku kembali termangu, ia tetap
saja tersenyum menunggu imbal balik dariku. Akankah ia meminang senyumku yang
telah lama pudar untuknya karena putusnya tali yang telah kami jalin? Kini,
disepersekian detik berikutnya aku tetap saja dingin sedingin bongkahan es yang
terus memadat dan dingin meskipun suhu lingkungannya melebihi seratus derajat
selsius. Senyumnya tak henti berhias, sedangkan hatiku remuk melihat sang
penjatuh impianku berdiri tepat di depanku. Melihat aku segan akan kehadirannya
dan enggan mempersilakan ia memasuki rumah, ia pun akhirnya mengeluarkan sebuah
suara. Suara! Suara yang dulunya selalu memberikan ketenangan sanubariku.
“Aku akan
meminang seorang gadis. Sudikah kau hadir dalam perayaannya?” sembari
menyodorkan sebuah undangan dengan sampul berwarna emas bersinar.
“Sungguh
dengan berbaik hati aku sudi. Terima kasih.” Aku menerima undangan itu dengan
tangan bergetar, hati pun ikut. Berjuang menahan air muka yang telah habis
ingin menyimbahkan air mata dan menggantinya dengan beberapa simpul senyuman
palsu. Jangan dia mengetahui itu. Tak tega hatiku.
Kemudian
dia berpamitan. Sepersekian detik terakhir aku tetap saja memandangi
punggungnya yang berlalu dan menghilang di jalanan depan rumahku. Tak kuasa aku
menahan air mata itu. Berlari menuju kamar dan aku mulai memebenamkan wajahku
di bantal berbentuk hati pemberiannya seraya memengang erat undangan yang baru
saja di berikannya. Pemberian yang berhasil mengoyak jiwaku.
Aku
berbohong. Aku berbohong bahwa putusnya tali antara kita telah membuatku lupa
akan kisah indah yang telah kita jalani sebelumnya. Hingga kini pun, setelah
jatuh Purnama ke empat puluh delapan, tetap saja aku mengingat wajahnya dan
acap kali meminta Tuhan untuk mendatangkannya ke hadapku, meski itu hanya dalam
mimpi. Ah! Bolehlah Engkau mengembalikan
kepadaku, wahai Sang Pemilik cinta? Aku tetap saja mengingat manis kisah
percintaan yang telah lama kami rajut, dahulu. Aku juga mengingat batapa
masamnya takdir kami dan ridha yang tak kunjung di dapat dari kedua orang tuaku.
Penghalang. Aku juga mengingat bahwasannya kala itu ia memutus benang kami dan
ia berkata bahwasannya kami tak jodoh. Dengan ringan ia berkata seperti itu.
Dan dengan berat aku berkata bahwa aku sepaham dengannya. Baiklah. Sepersekian
detik kemudian aku khilaf. Aku telah mahfum dan tak akan mengeluh padaNya.
Sungguh. Biar kulepas dia. Kuikhlaskan dia untuk perempuan pilihannya. Takdir
dariNya. Akan kuperoleh kelegaan jika aku benar melepasnya dari hati
terdalamku. Sungguhpun aku tak mampu, tak akan jua ia kumiliki. Pastilah Tuhan
akan menggantinya lebih baik lebih dari lelaki penjatuh mimpiku. (Ze*)
Pasuruan, 16 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat