Assalamu'alaikum :)

Sabtu, 15 Maret 2014

SEPERSEKIAN DETIK

Terheran aku melihat rupa sang pengetuk  rumahku, sepersekian detik aku termangu mengingat-ingat dia. Rupanya dialah seseorang dari masalaluku yang telah kubuang kisah percintaan itu dari ingatanku. Kulihat wajahnya bersinar berhias senyuman termanis yang selalu ia berikan kepadaku seperti biasanya. Disepersekian detik kedua, aku kembali termangu, ia tetap saja tersenyum menunggu imbal balik dariku. Akankah ia meminang senyumku yang telah lama pudar untuknya karena putusnya tali yang telah kami jalin? Kini, disepersekian detik berikutnya aku tetap saja dingin sedingin bongkahan es yang terus memadat dan dingin meskipun suhu lingkungannya melebihi seratus derajat selsius. Senyumnya tak henti berhias, sedangkan hatiku remuk melihat sang penjatuh impianku berdiri tepat di depanku. Melihat aku segan akan kehadirannya dan enggan mempersilakan ia memasuki rumah, ia pun akhirnya mengeluarkan sebuah suara. Suara! Suara yang dulunya selalu memberikan ketenangan sanubariku.
“Aku akan meminang seorang gadis. Sudikah kau hadir dalam perayaannya?” sembari menyodorkan sebuah undangan dengan sampul berwarna emas bersinar.
“Sungguh dengan berbaik hati aku sudi. Terima kasih.” Aku menerima undangan itu dengan tangan bergetar, hati pun ikut. Berjuang menahan air muka yang telah habis ingin menyimbahkan air mata dan menggantinya dengan beberapa simpul senyuman palsu. Jangan dia mengetahui itu. Tak tega hatiku.
Kemudian dia berpamitan. Sepersekian detik terakhir aku tetap saja memandangi punggungnya yang berlalu dan menghilang di jalanan depan rumahku. Tak kuasa aku menahan air mata itu. Berlari menuju kamar dan aku mulai memebenamkan wajahku di bantal berbentuk hati pemberiannya seraya memengang erat undangan yang baru saja di berikannya. Pemberian yang berhasil mengoyak jiwaku.
Aku berbohong. Aku berbohong bahwa putusnya tali antara kita telah membuatku lupa akan kisah indah yang telah kita jalani sebelumnya. Hingga kini pun, setelah jatuh Purnama ke empat puluh delapan, tetap saja aku mengingat wajahnya dan acap kali meminta Tuhan untuk mendatangkannya ke hadapku, meski itu hanya dalam mimpi.  Ah! Bolehlah Engkau mengembalikan kepadaku, wahai Sang Pemilik cinta? Aku tetap saja mengingat manis kisah percintaan yang telah lama kami rajut, dahulu. Aku juga mengingat batapa masamnya takdir kami dan ridha yang tak kunjung di dapat dari kedua orang tuaku. Penghalang. Aku juga mengingat bahwasannya kala itu ia memutus benang kami dan ia berkata bahwasannya kami tak jodoh. Dengan ringan ia berkata seperti itu. Dan dengan berat aku berkata bahwa aku sepaham dengannya. Baiklah. Sepersekian detik kemudian aku khilaf. Aku telah mahfum dan tak akan mengeluh padaNya. Sungguh. Biar kulepas dia. Kuikhlaskan dia untuk perempuan pilihannya. Takdir dariNya. Akan kuperoleh kelegaan jika aku benar melepasnya dari hati terdalamku. Sungguhpun aku tak mampu, tak akan jua ia kumiliki. Pastilah Tuhan akan menggantinya lebih baik lebih dari lelaki penjatuh mimpiku. (Ze*)
Pasuruan, 16 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih sudah membaca, semoga bermanfaat